DUA CANGKIR TEH

160 27 8
                                    

"Rosa ... kamu memang terbaik deh, tiga minggu ini hidupku terasa hampa tanpamu," teriak Alya yang melihat Rosa membawa sekantong plastik besar oleh-oleh dari Indonesia. Lebih tepatnya adalah makanan titipan Alya. Mulai dari margarin, mie instan, kopi tubruk, teh melati, sampai karak gendar.

Alya mengeluhkan mie instan yang dijual di Belanda, rasanya tidak segurih yang asli dari Indonesia. Mungkin karena kurang micin, begitulah hipotesisnya. Sedangkan margarin Belanda menurut Alya rasanya terlalu tawar, kurang mantap untuk membuat roti bakar atau pisang keju. Kalau kopi kasusnya lain lagi, meskipun banyak brand biji kopi berkualitas tinggi yang di jual di Belanda, Douwe Egberts misalnya, tetapi untuk lidah Alya tidak ada yang bisa mengalahkan aroma kopi tubruk cap Kapal Api. Aroma kopi ini mengobati kerinduan pada bapaknya di kampung.

"Gara-gara kamu, koperku sudah seperti toko kelontong, Al," keluh Rosa sambil menatap koper Samsonite Proxis-nya yang baru saja mengalami eksploitasi tak kira-kira. Waktu berangkat ke Jakarta, koper Rosa penuh dengan baju bayi, titipan Zaki untuk istrinya yang sebentar lagi akan melahirkan. Ketika balik ke Belanda koper itu penuh dengan bahan makanan titipan Alya.

Rosa juga membelikan scarf batik sutera untuk Alya, Tante Emma dan Jasmijn. Tinggal di negeri orang menjadikan setiap WNI harus siap menjadi duta bangsa. Jadi, setidaknya harus punya properti yang bisa mengenalkan budaya Indonesia. Batik adalah salah satunya.

Sebetulnya Rosa juga membawakan oleh-oleh untuk Awan, tapi dia perlu mencari waktu yang tepat untuk memberikan langsung pada Awan. Bisa-bisa dia diledek habis-habisan oleh Jasmijn dan Alya.

"Jadi mana fotomu bareng pengantin, Ros? Aku mau lihat," pinta Alya penasaran.

Rosa memperlihatkan salah satu foto selfienya dengan Regina dan kakak iparnya yang tersimpan di ponsel.

"MasyaAllah ... uaayune ... kamu benar-benar shining, shimmering, splendid, Ros. Bangga aku jadi temanmu."

Foto itu diambil setelah pelemparan bunga. Saat itu semua orang memberikan tepuk tangan meriah untuk Rosa. Semua tampak bahagia, apalagi Papi dan Maminya. Setelah pernikahan Regina, tentu saja mereka juga berharap Rosa akan segera mengikuti jejak kakaknya. Tidak heran pada pesta itu muncul beberapa lelaki yang menyapanya, dan mereka semua rata-rata putra dari kenalan keluarga Kusuma Winata. Namun, buat Rosa yang sama sekali tidak tertarik dengan bunga itu. Dia hanya bisa tercengang melihat wajah-wajah mereka yang tersenyum bahagia. Saat itu ia merasa seperti berada di ruangan yang kelam, sendiri, terpisah dari keramaian.

"Wow, kamu dapat bouquet-nya!" pekik Jasmijn yang ikut melihat foto di ponsel Rosa. "Apakah ini pertanda sebentar lagi kita akan dapat undangan, Alya?" goda Jasmijn.

"Tenanan, Ros? Sama siapa?" Alya malah ikut bertanya antusias.

Rosa hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian kok percaya sih sama mitos-mitos seperti itu? Ada yang mencuri bunga riasan pengantin lah, minta bedak pengantin demi lancar jodohlah ... Padahal enggak ada penjelasan ilmiahnya, enggak perlu percaya sama yang begitu-begitu ..."

"Ya ... anggap aja itu doa dari kami, siapa tahu diaminkan sama malaikat di langit, iya 'kan Jasmijn?"

Gadis berambut blonde itu mengangguk cepat sambil tersenyum-senyum.

Buat Rosa, kalimat Alya barusan justeru terdengar menakutkan. Bagaimana jika doa mereka benar-benar diaminkan oleh malaikat dan dikabulkan oleh Allah? Hingga detik ini, Rosa belum bisa memandang pernikahan sebagai sumber kebahagiaan. Trauma masa lalunya masih terus menghantui. Bagaimana mungkin dia bisa menikah jika sedikit berdekatan dengan laki-laki saja sudah membuatnya gemetar dan berkeringat dingin. Sejak tiga tahun yang lalu, pernikahan sudah menjadi sebuah fase hidup yang dikuburnya dalam-dalam.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang