KEBUN APEL

144 30 4
                                    

Pagi itu, suhu sekitar 12 derajat celcius dan terasa semakin dingin setiap kali angin musim gugur berhembus. Suasana pedesaan dengan pohon-pohon apel yang berbaris rapi terasa menyejukkan pikiran. Rosa berdiri di ujung salah satu lorong barisan pohon-pohon apel itu. Ia memejamkan mata, lalu menghirup udara dalam-dalam, hingga memenuhi kapasitas rongga paru-parunya. Aroma rumput yang baru dipotong terasa menenangkan. Suara kicauan burung dan gemersik dedaunan yang tertiup angin, terdengar begitu damai. Perkebunan apel ini betul-betul memberikan kenyamanan untuk seluruh panca indera.

Bulan Oktober adalah musim panen apel. Beberapa perkebunan membuka lahan mereka untuk didatangi para pengunjung yang ingin mendapat pengalaman memetik apel sendiri. Selain itu, apel yang dibeli langsung ke perkebunan ini dijual dengan harga jauh lebih murah daripada di supermarket. Di tempat ini juga dijual berbagai produk olahan apel seperti selai, jus, manisan, teh, hingga apple tart.

Rosa menenteng sehelai tas kain yang diberikan oleh petugas perkebunan ketika sebelum masuk ke lahan perkebunan. Tas itu digunakan untuk menyimpan apel yang dipetik sebelum ditimbang di kasir. Rosa sengaja memilih lorong yang berbeda dengan Alya dan Jasmijn. Kali ini ia ingin menikmati ketenangan kebun apel ini sendirian. Jika bersama Alya dan Jasmijn tentu saja mereka akan sibuk ngobrol bertiga. Belum ditambah foto-foto selfie Alya untuk laporan ke keluarga besarnya. Sedangkan Zaki dan Awan juga tampaknya sudah asyik dalam perbincangan sesama lelaki.

Buah apel merah yang ranum-ranum itu menjuntai setinggi jangkauan tangan orang dewasa. Rosa sengaja memilih apel yang benar-benar sudah matang dengan ukuran yang besar-besar. Sejak Awan memberinya buah apel waktu itu, Rosa mulai kecanduan dengan buah ini. Entah karena memang saat ini sedang musim apel jadi terasa lebih manis dan segar, atau juga mungkin karena Awan yang pintar memilih apel yang bagus. Pagi-pagi ia mengganti sarapannya dengan makan satu atau dua buah apel. Kadang-kadang dia juga membuat pie apel sebagai camilan.

Kantong Rosa sudah terisi setengahnya. Ia ingin memetik beberapa buah lagi sebelum bergabung dengan teman-temannya. Tanpa sadar dia sudah berada di pohon paling ujung, dekat peternakan sapi. Rosa menjinjit untuk memetik sebuah apel merah besar yang letaknya cukup tinggi. Sayang jangkauannya kurang beberapa senti lagi. Rosa kembali mencoba menjinjit lebih tinggi lagi.

"Butuh bantuan?"
Tiba-tiba terdengar suara Awan yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Rosa. Pria itu memetik buah apel yang diincar oleh Rosa dengan mudah tentu saja. Karena perbedaan tinggi mereka sekitar 20 cm.
"Ternyata kamu penggemar apel? Lihatlah kantongmu sudah hampir penuh terisi."

Rosa mengangguk. "Ya, aku suka apel yang manis."

"Hmm ... begitu ya." Awan manggut-manggut.

"Apakah kamu senang datang ke kebun apel ini?"

"Ah iya tentu saja. Aku tidak menyesal menerima tawaranmu. Tempat ini benar-benar relaxing. Aku senang berlama-lama di sini. By the way, apa kita harus segera pulang?"

"Oh, tidak. Santai saja. Jadwalku sudah dikosongkan hari ini." Awan berhenti bicara beberapa saat. Rosa pun belum punya bahan pembicaraan yang lain. "Oh ya, Rosa ... karena kamu suka sekali apel, ini aku tambahkan satu apel lagi buat kamu." Awan mengangsurkan wadah seukuran genggaman tangan yang berbentuk apel dengan sehelai daun sebagai pemanisnya. Wadah itu dilapisi kain beludru berwarna merah.

"Apel apa ini?" Rosa membolak-balik benda tersebut.

"Kalau penasaran buka saja."

Rosa membuka wadah berbentuk apel itu perlahan. Sebuah cincin berwarna perak dengan permata putih berkilauan tersimpan dalam kotak apel itu. Seketika darah rosa berdesir, dunianya seakan berhenti berputar sesaat. Saat itu Awan berubah menjadi jelmaan pangeran berkudanya yang sedang berlutut sambil mempersembahkan cincin berlian. Ini adalah adegan yang sering muncul dalam khayalannya ketika masih belia.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang