DIA DAN RANTAI SEPEDA

941 67 13
                                    

Sudah bukan musim dingin di Belanda, apalagi di Indonesia, panas terik memanggang aspal Bandara Soekarno Hatta. Namun, gadis itu masuk ke dalam kabin ekonomi Penerbagan Jakarta-Amsterdam dengan winter coat yang cukup tebal. Untung saja style fashion-nya sangat memanja mata.

Coat berkerah bulu warna cream dari merek terkenal, dipadunya dengan celana jeans dan sepatu boot selutut dari bahan kulit. Riasannya sederhana, karena kulit wajah aslinya pun sudah sangat terawat. Hidungnya mancung, khas putri blasteran Belanda-Jawa. Matanya kebiruan, indah dan dalam, bila kamu agak lama menatapnya, akan terasa kesenduan yang sulit dikatakan. Namun, dalam keseharian, ia adalah gadis yang ceria dan sangat mencintai dunia anak-anak. Penampilannya makin sempurna dibalut hijab yang chic.

Ia berusaha menahan embusan napas kesal saat menemukan kursinya. Masalahnya, tempat duduknya diapit oleh dua lelaki. Yang satu berbadan tambun, asyik membaca surat kabar. Satu lagi masih sibuk bertelepon dengan kaki yang terbuka lebar. Alhasil, ruang di kursinya hanya tersisa sedikit. Ngepas. Mentok. Sempit.

"Excuse me." Rosalba, nama gadis itu, berusaha agar dirinya tak menyentuh lelaki-lelaki itu sedikitpun dalam misi mencapai kursinya. Berhasil. Ia langsung duduk bersandar, memasang headphone, penutup mata, lalu menyalakan volume musik di ponselnya dengan suara maksimal. Ia ingin semua inderanya sibuk agar tak terlalu peduli saat dua orang yang mengapitnya melanggar teritori tempat duduk secara tak sengaja. Bertahanlah Rosa, semua penerima beasiswa itu ya naik kelas ekonomi!

Beberapa menit pertama, Rosa bisa menikmati alunan minuet yang membahana di telinganya. Headphone seharga puluhan juta hadiah dari Regina, kakak perempuan satu-satunya itu benar-benar menunjukkan kualitasnya. Akan tetapi, lelaki di sebelah kanannya memekik melihat berita bisnis yang tampaknya sangat memuaskan baginya. Dia buka korannya lebar-lebar, sehingga tangannya bersentuhan dengan lengan Rosalba.

Ia merasakan tekanan itu, padahal sengaja ia kenakan mantel tebal agar kulitnya tak merasakan sentuhan, khususnya sentuhan pria. Ia harus bertahan 17 jam lagi. Maka berulangkali ia merapal kalimat dalam hati, bismillah ... tenang ... semuanya akan baik-baik saja. Akan tetapi, tubuhnya tidak bisa diajak kompromi, sungguh pada saat yang tidak tepat. Jantungnya mulai berdetak tak terkendali dan keringat dingin mulai bercucuran. Pikirannya kalut, potongan memori acak dari masa lalu berkilat kilat tak beraturan.

Sebelum ia tak lagi bisa mengendalikan diri, segera dilepasnya headphone dan penutup mata. "Excuse me ... Mbak, saya boleh pindah ke kursi yang lain, nggak?" tanya Rosa pada pramugari berbaju biru yang sedang memeriksa kondisi penumpang. Dia sudah tidak tahan duduk lebih lama lagi di tempat duduknya. Ruang pesawat itu terasa tidak aman meskipun lagu Nyiur Hijau-yang seharusnya membuat rileks-sedang dikumandangkan.

"Maaf, Mbak. Saat ini semua kursi kelas ekonomi sudah penuh."

"Kalau kelas bisnis ada yang kosong?" Kali ini Rosa tidak lagi peduli dengan pandangan teman-temannya. Hanya satu hal yang diinginkannya, segera pindah ke tempat yang membuatnya merasa lebih aman.

Pramugari tersebut menatap Rosa dari kepala hingga ujung kaki. Memperhitungkan apakah penumpang ini tampak cukup meyakinkan untuk duduk di kelas bisnis.

"Saya punya frequent flyer member... kalau itu tidak cukup, saya akan bayar biaya upgrade ke kelas bisnis." Rosa berusaha meyakinkan sang pramugari dan memberikan kartu frequent flyer-nya.

Buat keluarga Rosa, terbang dengan kelas bisnis ke luar negeri adalah hal biasa. Bahkan, untuk menanggung biaya kuliah Rosa seratus persen, tanpa beasiswa pun bukan hal yang sulit bagi orang tuanya. Namun, dia punya alasan sendiri, dan memilih untuk bersaing memperebutkan beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Karena itu, tiket pesawatnya dibelikan oleh pihak pemberi beasiswa. Tentu saja pilihannya hanyalah kursi kelas ekonomi.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang