SUPERMARKET

135 26 1
                                    

Senyuman oma-oma dan opa-opa penghuni rumah perawatan lansia, memang tidak bisa dinilai dengan apapun. Wajah yang telah penuh dengan kerut dan gurat-gurat pengalaman hidup itu, selalu tampak cerah ketika didatangi para relawan. Rupanya, kebahagian itu mungkin memang bisa menular. Setiap kali usai membantu para relawan di rumah lansia, Rosa pun ikut merasakan kebahagiaan yang entah dari mana datangnya. Seakan rumah itu menyimpan kekuatan yang dapat mengisi tangki-tangki energinya yang mulai terkuras.
Kegiatan pagi ini cukup sederhana. Mendorong kursi-kursi roda ke taman terdekat, mengantar para lansia untuk menikmati hangatnya matahari, sambil mengamati burung-burung yang asyik bermain di pinggir kolam. Sebetulnya Rosa lebih banyak diam dan hanya bisa menanggapi obrolan sedikit-sedikit dengan kemampuan Bahasa Belandanya yang terbatas. Namun, mungkin itulah yang dibutuhkan. Tampaknya mereka hanya membutuhkan telinga untuk mendengarkan keluhan-keluhan kecil, dan kisah masa lalu saat para oma dan opa itu sedang jaya-jayanya.
Waktu satu jam terasa begitu cepat. Rosa mengemasi tasnya lalu mengambil sepeda di parkiran.
"Pulang?" tanya Awan yang tengah membuka kunci sepedanya.
"Nope, aku mau belanja dulu." Rosa menunjuk supermarket yang hanya sepelemparan batu dari gedung itu.
"Oh ... kebetulan sekali. Aku juga mau ke sana. Ada discount kentang dan boerenkool hari ini." Awan mengangkat alisnya sebelah.
"Wow ... you are so cool, Awan."
"Wah ... jantungku hampir melorot karena mendengar pujian dari kamu."
Rosa tertawa. Awan memang tak tertandingi dalam kemutakhiran informasi discount sayur mayur di supermarket. Mungkin dia selalu membaca brosur supermarket yang selalu diantarkan ke kotak pos di rumah-rumah setiap pekan. Atau jangan-jangan dia sudah berkenalan dengan para manajer supermarket.
Awan dan Rosa bersepeda beriringan menuju ke pusat perbelanjaan kecil yang berjarak sekitar 300 m dari sana. Kemudian meletakkan sepeda di tempat parkir khusus yang telah disediakan.
"Kamu tahu, tempat ini sangat  bersejarah? Akan kuceritakan sebuah kejadian luar biasa yang pernah terjadi di sini pada anak cucuku nanti." Awan tersenyum lalu melirik Rosa. "Once upon a time, ada seorang putri cantik jelita, tampak kebingungan memperbaiki rantai sepedanya ..."
"Please jangan dilanjutkan, Awan ... aku jadi malu," protes Rosa. Pipinya terasa panas membayangkan kisah pertama kali pertemuannya dengan Awan di tempat ini. Sungguh memalukan dan tidak elegan.
Awan pun tertawa lepas dan tidak melanjutkan lagi ceritanya. Kedua orang itu pun memasuki sebuah supermarket yang sangat terkenal di Belanda. Aroma roti yang baru keluar dari oven, selalu menyambut kedatangan setiap pelanggan. Setelah itu terasa hawa dingin dari kulkas-kulkas besar di dalam supermarket yang membuat rambut-rambut di tangan berdiri kedinginan.
Awan mengambil barang-barang belanjaannya dengan cekatan. Sekantung besar kentang, apel, sayur boerenkool, wortel, bawang bombay, makarel asap, dan knoflook stokbrood, semacam roti baguette dengan olesan butter rasa bawang. Sangat efisien. Berbeda dengan Awan, Rosa masih harus mengecek satu persatu kemasan setiap produk yang akan dibelinya. Ia belum terlalu hafal merk mana saja yang bisa dimakan oleh muslim. Apalagi selama ini dia tinggal mengekor saja jika belanja bersama Jasmijn atau Alya. Akhirnya, Awan memberikan tour supermarket gratis untuk Rosa. Tak disangka, keahlian belanjanya ternyata melebihi Jasmijn.
"Ini buat kamu," Awan memberikan satu bungkus roti bawang untuk Rosa.
"Lho, Kenapa?"
"Ini sedang promo 1+1." Awan menunjukkan label di kemasan roti seukuran 40 cm itu. "Nanti kamu tinggal oven sebentar, langsung bisa dimakan."
"Oh, Thank you, Awan." Rosa melirik trolley belanja Awan. "Kentang sebanyak itu ... untuk membuat apa?"
"Biasanya aku suka membuat stamppot. Karbohidrat dan sayuran sudah lengkap dalam satu menu. Lebih praktis dan sehat. Biasanya bisa dimakan bersama sosis asap atau bisa juga ditambahkan daging cincang."
"Hmm ... lekker."
"Kapan-kapan kamu harus mencoba stamppot buatanku." Tampaknya Awan sangat percaya diri dengan menu ini.
Tiba-tiba Awan memperhatikan seorang remaja tanggung yang sedang berdiri di belakang Rosa. Gadis itu sudah membuka mulut ingin bertanya, tetapi Awan segera memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Pelan-pelan Awan mengikuti anak laki-laki itu tanpa sepengetahuannya. Rosa pun akhirnya mengekor di belakang Awan. Ketika sampai di dekat rak makanan berisi bermacam-macam cokelat, anak itu diam-diam memasukkan beberapa batang cokelat dan biskuit ke dalam kantong jaketnya. Hal itu terlihat jelas oleh Awan dan Rosa. Mereka berdua terkejut dan terus mengikuti anak itu. Bukannya mengarah ke tempat pembayaran di kassa, anak itu malah menuju ke pintu keluar tanpa pembelian. Pelan-pelan ia menyelinap keluar lalu langsung berlari kencang. Melihat itu, Awan pun segera berlari mengejar hingga ke luar parkiran. Rosa pun meninggalkan keranjang belanjaannya dan mengikuti Awan meskipun tertinggal cukup jauh.
Dari kejauhan Rosa dapat melihat Awan hampir bisa menangkap anak itu. Namun, ketika Awan berhasil mencengkram jaketnya dari belakang, anak itu berbalik, kemudian memukul dengan kepalan tinjunya tepat ke pipi Awan. Anak itu lalu mendorong kuat-kuat sehingga Awan terhuyung dan pelipisnya membentur tembok bata kasar.
"Awan! Are you Okay?"
Rosa sampai ke tempat itu dalam kondisi terengah-engah. Anak remaja tadi sudah menghilang entah ke mana. Awan mencoba bangkit berdiri sambil meringis memegangi kepalanya. Namun, Rosa tiba-tiba panik melihat darah mengalir perlahan dari luka di ujung alis lelaki itu.
"Kamu berdarah!"
Rosa mengambil saputangan dari tasnya. Untungnya ada air minum dalam botol yang bisa digunakan untuk membersihkan luka sementara. Saat itu posisi mereka begitu dekat. Rosa dapat mencium aroma parfum Awan yang untungnya sudah berganti. Namun, jantung Rosa tetap berdebar liar. Beberapa kali gadis itu mengatur napas dan mencoba fokus pada luka yang sedang dibersihkannya. Akan tetapi, keringat dinginnya mulai mengucur dan tangannya gemetar. Rosa mengatakan pada dirinya sendiri untuk bertahan beberapa saat lagi, sambil terus mengatur napas. Kini tinggal satu tahap lagi. Rosa harus memasangkan plester untuk menutup luka. Untungnya ia selalu menyimpan cadangan plester pembalut luka di dompetnya. Tangannya yang mulai gemetar dipaksanya untuk membuka bungkus plester itu.
Tanpa disadarinya, sejak tadi Awan memperhatikan gerak gerik Rosa, hingga pada satu saat tanpa sengaja mereka bersitatap. Awan mengehela napas panjang lalu tersenyum tipis.
"Boleh kubantu?"
Rosa mengangguk, kemudian memberikan plester itu pada Awan dan mundur satu langkah. Akhirnya, Awan menempelkan plester itu sendiri dengan bantuan arahan dari Rosa.
"Thank you, Rosa. Pekerjaan ini pasti tidak mudah bagimu, tapi kamu tetap berusaha melakukannya."
"I'm sorry, Awan." Rosa tertunduk lunglai. "Aku belum bisa mengendalikan tubuhku sendiri."
"No ... ini sudah kemajuan besar. Kamu hebat, sudah berjuang. But ... I think ... practice makes perfect." Awan tersenyum.
Rosa mengerutkan keningnya. "Apa kamu harus terluka juga berkali-kali sampai akhirnya aku terbiasa, begitu?"
Awan menggeleng. "Mungkin bisa kita pikirkan strategi latihan yang lebih menyenangkan? Hanya saja, untuk yang satu ini syaratnya cukup berat." Wajah Awan tampak begitu serius.
"Apa syaratnya? Mungkin aku bisa mengusahakannya."
"Syaratnya ... kita harus menikah dulu."
Rosa terdiam dan otomatis memalingkan wajahnya. Saat itu aliran darahnya terasa seperti berhenti.  Awan tertawa melihat wajah Rosa yang begitu tegang.
"Ayo kita kembali ke supermarket. Belanjaan kita belum dibayar! Sayang sekali bukan, kalau harus melewatkan discount hari ini?"
Mereka berjalan cepat menuju ke supermarket, tidak ada yang membuka pembicaraan satu sama lain. Untungnya keranjang yang sempat ditinggalkan belum dibereskan oleh karyawan toko. Setelah membayar belanjaan masing-masing, mereka segera menuju ke parkiran sepeda. Rosa memasukkan barang-barang belanjaannya ke dalam keranjang yang sengaja dipasang di boncengan sepedanya.
"Awan, aku boleh bertanya?"
Awan mengangguk.
"Mengapa kamu begitu  bersemangat mengejar anak remaja tadi? Kenapa tidak kamu beri tahu saja petugas security? Biar mereka yang menyelesaikannya."
Awan menghela napas. Sebenarnya Awan sudah beberapa kali melihat anak itu melakukan aksi yang sama. Karena itu dia ingin menanyakan apa sebabnya anak itu melakukan tindakan itu. Apakah memang karena niat ingin mencuri, atau sebetulnya karena faktor ekonomi.
"Sebetulnya aku ingin memberinya uang dan memintanya untuk membayar cokelat yang sudah diambilnya itu. Siapa tahu, dengan begitu dia menjadi jera dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Ya ... tapi dia kan jelas-jelas bersalah, Awan. Sudah seharusnya dia mendapat hukuman yang setimpal bukan?"
Awan mengangguk-angguk. "Ya ... kamu benar juga. Namun, kadang aku berpikir. Semua orang pernah bersalah, dan seharusnya setiap orang punya kesempatan kedua. Kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Aku ingin anak itu menyadari kesalahannya dan punya kesempatan untuk memperbaiki diri, tanpa harus terus-menerus melabeli dirinya adalah seorang pencuri. Masa depannya masih panjang."
Rosa tertegun. Benarkah setiap orang punya kesempatan kedua untuk menebus dosa dan memperbaiki diri? Apakah ia juga punya kesempatan itu? Ia benar-benar ingin segera move on dari kesalahan masa lalunya dan berusaha menjadi seorang Rosa yang lebih baik lagi. Namun, mengapa begitu sulit? Memorinya seakan terjebak di masa lalu, meskipun banyak hal sudah berubah. Ia sudah banyak mengikuti kajian, memutuskan untuk menutup aurat, melaksanakan semua amalan wajib bahkan sunnah, dan menjaga pergaulannya dengan lawan jenis dengan sangat ketat. Akan tetapi, ia masih terus melabeli dirinya sampai saat ini sebagai seorang perempuan yang kotor.
"Kenapa kamu begitu ingin memberikan kesempatan kedua kepada anak itu?"
"Karena aku juga pernah melakukan dosa dan saat itu Papa memberitahuku tentang kesempatan kedua itu. Karena itulah aku bisa seperti ini sekarang."
"Do-dosa?"
"Waktu itu usiaku 20 tahun. Tidak mudah bagiku untuk hidup sebagai seorang muslim di negara ini. Ada banyak aturan-aturan Islam yang harus aku jalankan, yang pada saat itu terasa sangat mengekang. Mulai dari banyak makanan yang tidak bisa kumakan, tidak bisa minum-minum bersama teman-temanku, termasuk dalam hal membatasi pergaulan dengan perempuan. Rosa, sebenarnya ini cerita yang agak panjang. Kamu yakin mau mendengarnya? Kamu mungkin akan bosan ...." Awan berhenti menuntun sepedanya.
"Tentu saja, aku punya banyak waktu." Rosa mulai melangkah lagi, tetapi dengan langkah yang sangat perlahan.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang