KOTAK MEMORI

175 31 1
                                    


"MasyaAllah ... Alya cantik sekali pakai kebaya pengantin jawa," puji Rosa saat berjalan bersama Awan meninggalkan pesta pernikahan sahabatnya itu. Perayaan sederhana yang diadakan di halaman sebuah masjid di area Dago Atas kota Bandung. Mereka sengaja memilih berjalan kaki dulu sebentar, sebelum berangkat lagi menuju ke rumah Rosa di Jakarta. Awan ingin melihat-lihat suasana pemukiman di Kota Bandung, dan tentu saja berjalan-jalan berdua saja dengan Rosa lebih lama. Sejak dari bandara kemarin, mereka sudah dijemput oleh sopir keluarga Kusuma Winata dan diantarkan langsung ke Bandung.

"Kamu juga cantik pakai kebaya, aku baru pertama kali melihatmu berpakaian seperti ini. Apakah di resepsi pernikahan kita nanti, kamu juga memakai pakaian seperti itu?" tanya Awan penasaran.

"Hmmm ... aku tidak tahu. Semuanya diurus Kak Inah. Katanya biar surprise."

"OK, kalau begitu tidak usah dipikirkan. Buatku, kamu pakai apa saja tetap cantik." Awan melirik Rosa. Dia memang paling senang membuat pipi istrinya itu memerah.

Sayangnya siang itu cuaca tidak terlalu cerah. Mendung menggelayut di angkasa. Awan kelabu menutupi langit Bandung Utara. Awan dan Rosa mempercepat langkah mereka untuk menuju ke tempat parkir mobil. Namun, tiba-tiba di depan sebuah rumah langkah Rosa terhenti. Ia berdiri membeku, seakan dunia berhenti berputar. Rumah itu ... adalah tempat kost Rosa dulu. Tempat ia pernah melakukan dosa menjijikkan yang efeknya masih terasa hingga saat ini. Di halaman yang asri itu, empat tahun yang lalu, ia membiarkan dirinya terguyur hujan lebat hingga menggigil, saking merasa berdosanya.

Tubuh Rosa mulai terasa lemas, sensasi dingin yang menggigil itu kembali datang. Rosa seakan-akan kembali ke ranjang itu, duduk disana, lalu Roland menghampirinya. Lelaki itu tersenyum, dia hendak membelai kepalanya.

Tetapi, kini Rosa tak ingin membiarkan dirinya larut. Sekuat tenaga dia lepaskan rasa menggigil itu. Rosa meneguhkan pijakannya, merasakan kakinya yang menapak tanah. Diayunkan tangannya perlahan sambil merasai suhu udara Bandung yang ternyata tidak terlalu dingin, tidak seperti saat itu.

Rosa bisa membayangkan dirinya berkata pada Roland dalam ingatannya itu, 'Jangan teruskan Roland, kalau kita seperti ini kita akan menyesal. Sebaiknya, kamu pulang sekarang.'

Ia membayangkan Roland bertindak seperti yang ia inginkan, dengan gagah menahan diri, lalu mundur dan berpamitan. Rosa dalam ingatannya kini mengantar Roland keluar, dan menutup pintu kamar kos itu.

Tetes hujan yang membasahi mengembalikan Rosa ke dunia nyata. Di depannya tampak wajah Awan yang terlihat sangat khawatir.

"Lieve, kamu baik-baik saja? Kita harus cepat-cepat ke mobil. Hujannya bertambah besar."

Rosa mengangguk dan tersenyum tipis, lalu menyamai langkah Awan yang berjalan di sampingnya. Entah sadar atau tidak, Rosa menggenggam erat tangan Awan lalu mengajaknya lari bersama menembus hujan. Awan tersenyum dan tak henti mengucap syukur.

***

Rosa dan Awan tiba di rumah keluarga Kusuma Winata sekitar pukul sembilan malam. Tampaknya semua keluarga sedang berkumpul, termasuk Regina, suaminya, dan anak kembar mereka yang bulat dan lucu. Sebagai menantu baru, Awan mendapat sambutan yang hangat dari seluruh anggota keluarga. Bahkan, si kembar pun sangat senang bermain dengan Awan. Para pelayan wanita sibuk membicarakan ketampanan pria berambut blonde, yang menjadi anggota baru keluarga itu.

"Mbak Rosa mau dimasakin apa buat makan malam?" tanya Bu Sita kepala juru masak keluarga. "Tapi maaf, kita lagi tidak ada stok apel."

Awan mengernyitkan keningnya lalu bergumam, "Kamu suka sekali makan Apel ya?"

Rosa hanya tersenyum lalu menggeleng. "Enggak perlu, Bu. Kami sudah makan tadi di jalan. Lagi pula kami sudah lelah, pengen cepat-cepat istirahat."

"Ah, Sita ini, kaya tidak paham penganti baru saja," celetuk Pak Arifin yang membuat semua orang senyum-senyum, kecuali Rosa.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang