KILAS BALIK AWAN

140 26 0
                                    

Gadis berambut cokelat itu melambaikan tangan, senyumnya yang selalu bersemangat mengobati rasa penat Awan setelah jam kuliah yang padat seharian. "Maaf membuatmu menunggu, Mijn Schatje".

Gadis itu menggeleng, "Cuma sebentar kok. Eh,  aku sedang ingin kebab untuk makan malam. Kamu?"

"Apapun yang kamu mau, aku jadi menginginkannya juga." Awan menggamit tangannya, seperti biasanya.

Marieke nama gadis itu. Tahun ini mereka telah melewati anniversary-nya yang kedua sebagai sepasang kekasih. Awan mengenalnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus Universitas Groningen. Gadis itu luwes dalam bergaul, pintar, namun lebih dari itu, Awan merasa Marieke sangat mengerti dengan keadaannya sebagai Muslim. Dia selalu mengingatkannya untuk sholat, bahkan kadang menemaninya berpuasa di bulan Ramadhan. Ada satu lagi yang membuat Awan nyaman bersamanya, tidak seperti pacar-pacarnya yang lalu, Marieke tidak keberatan dengan hubungan mereka yang tidak banyak skinship. Hal paling jauh yang mereka lakukan adalah berpegangan tangan seperti saat ini.

"Marieke!" seseorang berseru dengan suara nyaring. Marieke langsung menoleh. Ternyata itu kawan sekelasnya, dia tergopoh-gopoh membawa buku catatan. "Bukumu, tertinggal... " katanya dengan suara tersengal. "Hai Awan!" sapanya. "Kalian ini.... pasangan terawet yang pernah kutemui. Tapi kenapa aku tak pernah lihat kalian... hemmm... " katanya sambil mengerling jahil, bibirnya mengecup angin. Marieke mendelik, temannya ini memang cerewet dan iseng..  "Sebenarnya kalian ini pacaran atau kakak-adik zone sih?"

"Hey, come on, it's not your business." Marieke mendengkus tapi tetap tersenyum. "Anyway, bedankt!"

Kawannya itu melambaikan tangan dan berlalu. Setelahnya Marieke lebih banyak diam, ia tampak berpikir keras. Saat mereka berjalan di tepi kanal yang cukup sepi, akhirnya Awan memecah keheningan.
"Mijn Schat, kenapa tiba-tiba diam?"

Gadis itu menghentikan langkahnya, lalu mengarahkan badannya penuh menghadap Awan. Ia meraih tangan Awan yang lain. "Awan, katakanlah dengan jujur, apa aku seperti adik atau kekasih bagimu?"

"Tentu saja kekasih, apa maksudmu?"

"Lantas apa bedanya aku dengan Jasmijn? Kamu juga bergandengan tangan seperti ini bila bersamanya. Kamu tak pernah memelukku, apalagi lebih dari itu ...."

"Marieke... Mijn Schat..." suara Awan melembut, menatap mata hijau Marieke dalam-dalam, namun Marieke membuang pandangannya. "Cuma senyummu yang bisa mengobati rasa lelahku, dan tak ada satupun wanita yang membuat jantungku berdebar kencang seperti saat bersamamu..."  Awan menggenggam tangan Marieke lebih erat, mengusapnya lembut.

Marieke kini membalas tatapan Awan, "Benarkah?"

"Ya, cuma denganmu aku merasa nyaman...."
Lalu tatapan mereka seolah terlekat satu sama lain, rasa ingin mendekat tak terbendung lagi. Bibir mereka sudah hampir bertemu saat tiba-tiba seekor burung entah darimana hinggap di kepala awan. Marieke tertawa keras dibuatnya. Namun, peristiwa itu rupanya membuat Marieke tak bertanya-tanya lagi.

"Liefje... bagaimana menurutmu kalau kita tinggal bersama?"

Pertanyaan Marieke yang tiba-tiba itu membuat Awan sangat terkejut. Memang teman-temannya sudah biasa tinggal bersama kekasih mereka. Tetapi orangtuanya tidak akan semudah itu memberikannya ijin. Jangankan tinggal bersama, untuk memiliki kekasih saja banyak syaratnya.

"Marieke, masalahnya..."

"Kenapa, orang tuamu? Ayolah, usia kita kan sudah 20 tahun. Aku bahkan sudah biasa hidup sendiri.  Aku sudah melihat-lihat apartemen yang lebih luas. Kita bisa sharing berdua, bagaimana menurutmu?"

Awan ternganga ... dia tak bisa memikirkan apa-apa untuk saat ini. Tapi diamnya itu rupanya membuat Marieke kesal.

"Apa salahnya dua orang yang saling mencintai bertemu setiap hari, dari pagi, sampai pagi lagi. Kamu sendiri yang bilang kan, kalau kamu belum bisa tidur sebelum mendengar suaraku di telepon, aku pun begitu... atau, sebenarnya... kamu tidak mencintaiku seperti itu?"

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang