Siapa? Siapa?

102 22 37
                                    

Seorang anak lelaki jangkung, berkulit putih, bermata sipit, dan memiliki senyum termanis yang pernah ada, sedang menyita perhatian Anaya pagi ini. Dia sangat mengagumi anak lelaki itu dalam hatinya. Apakah hormon estrogennya sedang berkembang sekarang? Ah, kenapa dia jadi berpikiran yang tidak-tidak? Dia tersenyum sendiri di balik wajahnya yang terlihat galak. Ini adalah ketiga kalinya dia memandang anak lelaki itu dan memujanya diam-diam. Ada sebuah perasaan berbeda yang mengalir begitu saja. Tak pernah terbayangkan olehnya, seorang Anaya Amalia menjadi perempuan yang bermental tempe seperti sekarang ini. Ataukah dia memang sudah kalah dengan perasaannya sendiri? Dengan langkah lambat, dia berjalan ke arah kelas.
"Rama namanya! Vokalis Electric Band, band sekolah kita. Lu naksir ya?" Tanpa perduli dengan sekelilingnya, Dewa langsung saja menyemprot Anaya yang saat itu sedang berjalan menuju kelas.
"Apaan sih lu?" elak Anaya dan terus berjalan tanpa memperdulikan ucapan Dewa.
"Serius?" Kali ini Dewa melompat ke depan Anaya.
"Udah deh, Wa! Jangan pancing gue buat nyentil kening lu yang selebar lapangan tembak itu!!!" Suara Anaya semakin meninggi saat sahabatnya itu tidak paham dengan keadaan di sekeliling mereka.
"Haha... Masa iya sih lu tega nyakiti sahabat lu ini?"
"Kenapa nggak? Biar itu mulut nggak suka ngumbar kata-kata yang nggak benar! Lagian siapa yang naksir sama dia? Nggak level gue, tahu!" Anaya langsung saja masuk ke dalam kelas dan mengambil posisi di tempat duduk yang berada di depan sebelah kanan dari meja guru.
Dewa mendekatinya lagi. Masih dengan pembahasan yang sama, anak lelaki itu menatap wajah Anaya yang terlihat memerah. "Terus, itu hidung sama pipi kok bisa merah gitu ya?" godanya.
"Ih, Dewa!!! Udahan deh, jangan buat gue benar-benar kesal! Pergi nggak lu dari sini???" Anaya mulai kehabisan kesabaran. Dia bertolak pinggang di depan Dewa dan melotot padanya.
Dewa hanya tersenyum. Dia memandang sahabat masa kecilnya itu dengan wajah yang penuh tanda tanya. Beberapa hari ini, dia memang sengaja memperhatikan Anaya di setiap sudut sekolah. Gadis itu tampak berubah jauh dari biasanya. Mulai berdandan dengan sangat rapi sampai selalu tepat waktu datang ke sekolah. Padahal, selama ini segala peraturan sekolah selalu ditentang oleh Anaya. Namun, sekarang gadis itu berubah.
"Oke, oke! Maaf nih, kalau gue salah menilai lu. Habisnya gue selalu lihat lu melamun sendirian di bawah pohon itu tuh, pohon beringin yang banyak hantunya!" goda Dewa sambil mengguit lengan Anaya dan menunjuk sebuah pohon besar tepat di samping kanan kantin sekolah.
"Dewa!!!!!" Teriakan Anaya membuat Dewa lari pontang-panting keluar dari kelas.
Tak disangka kemarahan Anaya pun bangkit dan membuat geger seisi kelas. Mereka sontak berdiri dan memandang dua sejoli bagaikan kucing dan anjing itu memulai pertarungan sengit. Ini pasti akan terjadi sampai bel pulang sekolah berbunyi.
Kelas berakhir. Anaya memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Disambut dengan ledekan Dewa yang terus menggodanya, Anaya hanya bisa mengerucutkan bibir tanpa membalas apapun yang diucapkan sahabatnya itu.
"Gue tunggu di parkiran ya, Nay! Cepetan lu! Awas aja, kalo lama gue tinggal!" seru Dewa sambil menyandang tasnya dan keluar dari kelas.
Tanpa menjawab, Anaya hanya mengangguk. Memang bahagia sekali rasanya memiliki sahabat seperti Dewa, lelaki macho yang suka musik rock, tetapi sangat takut sama yang namanya kucing. Lelaki yang selalu ada untuknya kapanpun dan dimanapun. Mereka hanyalah dua makhluk Tuhan yang dipertemukan melalui tembok pembatas rumah. Saat itu, usia keduanya 8 tahun. Dewa melompati tembok pembatas rumahnya untuk masuk ke halaman belakang rumah Anaya, bersamaan dengan Anaya yang sedang mandi di bawah kran air yang dibuat ayah bersama Nathan, kakaknya, dengan hanya berbalut celana dalam dan kaus kutang. Jeritan anak perempuan itu membuat seisi komplek seperti mendengar pesawat luar angkasa menimpa atap rumah mereka. Ayah dan bunda pun bergegas keluar untuk melihat anak kesayangan mereka. Masih untung ada Nathan yang mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tante Anne, Mama Dewa, akhirnya meminta maaf atas kejadian itu. Sejak saat itu, mereka berdua selalu bertemu setiap pagi menuju sekolah. Sampai keakraban diantara keduanya terjalin. Dewa dan Anaya sama-sama memilih SMP dan SMU yang sama agar selalu berdekatan. Bak anjing dan kucing, keakraban itu menimbulkan perasaan yang berbeda di hati Dewa. Ya, hanya di dalam hati Dewa.
"Aauuw..." Seseorang telah menabrak Anaya. Gadis itu meringis kesakitan sembari memegang kakinya.
"Makanya, kalo jalan tuh lihat-lihat!" seru Noni, Rika dan Tantri. Geng Mancha ini memang selalu mencari masalah dengannya. Mengapa? Karena mereka tidak ingin Anaya berdekatan terus dengan Dewa. Si centil Rika sangat menyukai anak lelaki setengah gondrong itu. Sementara Dewa, ah boro-boro suka, memikirkan untuk menyukainya pun tidak pernah.
"HEH! Enak aja, kalo ngomong! Gue udah bener jalannya, kalian aja yang suka cari gara-gara!" Anaya masih bisa melawan, walaupun sekarang kakinya mulai kram.
"Ih, nyolot lagi udah salah!" seru Tantri tak mau kalah.
"Gue nggak salah! Kalian tuh yang salah!" teriak Anaya lagi masih dengan suara yang keras.
"Lama-lama gue kempesin juga mulut lu tuh ya?" Noni bergerak cepat mendekati Anaya dan siap melayangkan sebuah tamparan keras di wajahnya.
Namun, saat tangan Noni sudah menjulur ke wajah Anaya, tiba-tiba sebuah tangan menahan pukulan itu. Noni kaget dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman orang itu.
"Apaan sih, Ma? Nggak usah ikut-ikutan deh!" seru Noni saat sadar bahwa Rama sedang menghentikannya.
"Bukan maksud gue ikut-ikutan, tapi gue emang harus ikut campur dalam masalah kalian. Emang gini ya kelakuan anak cewek? Kasar banget!" sahut Rama dan menghempaskan tangan Noni dengan begitu saja.
"Lu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah sok nasehati kita!" Rika mulai membela teman mereka. Dia menarik Noni menjauh dari Rama.
"Terserahlah! Tapi gue emang nggak suka lihat kalian berantem kayak gini," jawab Rama dan membenarkan posisi tasnya yang sedikit miring.
"Udah ah, yuk kita pergi!" Tantri menarik tangan Noni dan Rika untuk meninggalkan koridor. Dengan wajah masih memanas, ketiga sahabat itupun pergi sambil menatap Anaya yang masih terduduk lemas di lantai.
Rama mendekati Anaya dan menjulurkan tangannya pada gadis itu. Anaya mengangkat kepalanya dan menggenggam tangan Rama dengan erat. Rasa kaget yang luar biasa menghinggapinya. Dia tak menyangka, kalau tangan yang menolongnya adalah tangan Rama, sosok yang sedari pagi menyita pandangan dan pikirannya.
Dengan tersenyum simpul, Anaya memandang sosok tampan dan berkharisma itu, "Makasih ya?" ujarnya dengan lembut.
Rama membalas ucapan terima kasih Anaya dengan tersenyum. Lalu, diapun pergi meninggalkan gadis manis sedikit tomboy itu dengan rasa penasaran yang memuncah. Berkali-kali, Anaya tersenyum kecil saat menatap pujaan hatinya melangkah semakin jauh.
"Nay!! Naya!!!!" Teriakan Dewa membuatnya berhenti tersenyum. Anak lelaki itu berlari kencang menuju koridor dari tempat parkir. Masih terdengar suara napasnya yang terengah-engah.
Anaya membalikkan badannya ke arah Dewa. "Kenapa lu?" tanyanya saat melihat Dewa menghapus keringatnya dengan napas yang tersengal-sengal.
"Aduh, malah ditanya kenapa. Gue nungguin lu daritadi di parkiran, tapi nggak nongol-nongol juga. Ngapain aja sih?" tanya Dewa terbata-bata sambil mengusap keringatnya yang masih bercucuran.
"Ya udah, yuk kita pulang!" jawab Anaya dan menarik tangan Dewa menuju tempat parkir.
Dewa memandang gadis itu dengan heran. "Gitu aja jawaban lu, Nay?"
Dengan memasang wajah tersipu-sipu, Anaya masuk ke dalam mobil dan mengambil botol air minum dari jok belakang.
Dewa yang mengikutinya sejak dari koridor semakin heran dengan tingkah Anaya. "Lu kenapa sih, Nay?"
Anaya memandang Dewa sambil tersenyum.
"Malah senyam-senyum. Awas kesambet setan!" seru Dewa dan mulai menghidupkan mesin mobil.
"Wa...."
"Ehm..."
"Tadi... Gue...."
"Kenapa?" Kali ini Dewa menoleh pada Anaya sambil tetap mengemudikan mobilnya.
"Gue... Tadi...."
"Tadi kenapa, Nay???"
"Gue tadi tadi ditolong sama Rama," ucap Anaya dengan nada sedikit centil.
"What? Serius? Kok bisa? Gimana ceritanya?" Dewa yang masih saja mengemudikan mobilnya merasa penasaran dengan ucapan Anaya barusan.
"Ya... Bisalah! Emang nggak bisa ya?"
"Ya... Bisa-bisa aja sih. Tapi maksud gue, gimana ceritanya kok bisa lu ditolong sama si Rama?? Jutek banget sih ditanyain gitu aja?" Dewa memandang wajah Anaya yang mulai kelihatan kesal.
"Males ah cerita sama lu! Bukannya didukung, malah dijatuhin!"
"Dijatuhin gimana? Gue cuma nanya, Anaya. Emang cewek kalo udah jatuh cinta, sensitif banget ya?" Dewa mencolek pipi Anaya dengan centil.
Anaya menahan senyumnya.
"Nggak usah ditahan-tahan! Senyumin aja!" seru Dewa saat melihat Anaya menahan senyuman di pipinya.
"Haha... Lu bisa aja deh, Wa!" Akhirnya rasa kesal itu hilang begitu saja. Anaya pun tertawa sambil memukul lengan Dewa berkali-kali.
"Jadi, nggak mau cerita nih?"
"Ehm... Gini... Tadi pas keluar dari kelas, Geng Mancha nabrak gue di koridor."
"Si Noni? Si kutu kupret itu? Aduh, kok nggak bilang sih biar gue yang turun tangan?" seru Dewa mulai emosi saat mendengar Anaya menyebut Geng Mancha.
"Nggak usah lebay! Lu juga udah ninggalin gue aja gitu bel pulang bunyi! Huh!"
"Tapi lu nggak apa-apa, kan?" tanya Dewa sembari memperhatikan Anaya dari ujung kepala sampai kakinya.
"Nggak dong! Kan gue ditolongin sama Rama."
"Terus senangnya lu itu dimana?" goda Dewa lagi. Dia tak menyangka, kalau Anaya akan menyukai seseorang.
"Ya senanglah! Ditolongin sama orang yang di...."
"Di...? Di apa? Dimakan? Disantet?"
"Ih, lu kok gitu sih responnya? Lu nggak senang gue senang?"
"Tuh kan ngambek lagi. Lu ngomongnya gantung sih. Emangnya kenapa sama Rama? Lu naksir sama dia?" tanya Dewa tanpa melihat wajah Anaya.
Anaya tersenyum.
"Good. Bener deh tebakan gue. Awas, jangan asal kecantol!"
"Emangnya kenapa? Dia cowok baik, kan? Apalagi setelah kejadian tadi, gue makin penasaran sama dia. Lihat tampangnya yang original gitu, gue jadi inget lu!" cerita Anaya dengan lugas.
"Ingat gue? Kenapa? Lu ngerasa bersalah ya, Nay?" Dewa tersenyum-senyum mendengar kata-kata Anaya.
"Bersalah? Ngapain juga gue ngerasa bersalah? Gue inget sama lu karena kalian berdua tuh berbeda jauh banget. Rama itu emang bener-bener original, Wa. Nggak kayak lu yang tahunya fotokopi mulu dari majalah. Nggak alami!" cerocos Anaya tanpa memandang wajah Dewa yang kelihatan menggerutu padanya.
Dewa hanya bisa tersenyum sabar saat Anaya menyindir penampilannya. Walaupun tidak alami, tetapi Dewa yakin Anaya juga memujinya. "Tapi kan hati gue tetap alami buat lu, Nay! Daripada lu sama si Rama yang belum tahu kepribadiannya gimana, kan mendingan sama gue!" ungkapnya masih berusaha tersenyum.
"Yeee... Gue nggak tertarik sama orang yang gila fashion, padahal itu fashion nggak cocok banget sama dia, eh masih diembat juga! Huh!" cerocos Anaya lagi seakan tak mengerti dengan semua kode yang diberikan Dewa.
"Jadi menurut lu, gue nggak ada cakep-cakepnya, gitu???" Sontak saja Dewa terperanjat saat mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Anaya.
"Bukannya nggak cakep, tapi nggak original aja!"
"Dasar! Lihat aja nanti kalo gue jadi kerumunan para cewek, sampai berlutut juga gue nggak akan mau sama lu! Siapa juga yang mau sama cewek jutek, cerewet, sereemmm lagi? Ih, amit-amit!!" seru Dewa dan kemudian membelokkan mobilnya masuk ke halaman rumah Anaya.
"Asal lu ya!" balas Anaya sembari memukul Dewa yang terus berusaha menenangkan Anaya sambil tertawa.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang