PART 22

8.3K 720 23
                                    

Hembusan angin yang kencang memadamkan api yang menyelimuti raga. Sepasang netra yang menatap lurus dengan punggu yang bersandar pada kursi kayu ditaman, kaki yang terbalut perban kini terasa sangat nyeri, padahal tadi dia tidak bisa merasakan apapun.  

Pemuda manis itu menoleh pada lelaki disampingnya, hatinya sedikit tenang takala seseorang yang berharga datang memeluknya.   

Park Jisung, seorang anak lelaki berumur 14 tahun, anak dari tetangganya yang kebetulan memiliki kisah hidup yang sama sepertinya. Anak itu dicampakan oleh ibunya, tapi bersyukur ayahnya masih sangat baik dan sangat menyayanginya. Tapi Jisung tetap merasa kurang dengan semua yang ayahnya berikan, dia memerlukan pelukan sang ibu, bahkan dalam waktu dua bulan dirinya bersama sang ibu, ibunya tidak pernah menganggapnya, tidak pernah memanggilnya, dan tidak pernah memeluknya.    

"Jadi... Kau sudah mendapatkan jawabnya?" Jaemin membuka percakapan diantara mereka.

Terdengar helaan nafas lelah dari lelaki yang lebih muda, dia melirik Jaemin yang sudah bisa mengontrol emosinya, atau mungkin kemarahan pemuda itu memang sudah menghilang sepenuhnya.

"Eomma terpaksa menikah dengan appa." pemuda itu menatap Jaemin dengan sedih. Dia memang tidak bisa bercerita pada siapapun kecuali Jaemin, bahkan dirinya menganggap Jaemin adalah seorang ibu untuknya, karena walaupun bernasib sama Jaemin sangatlah lembut padanya, dia memberikan perhatian pada Jisung, perhatian yang tidak ia dapatkan dari seorang ibu.

"Eomma dan appa dijodohkan, tapi walau begitu appa tidak pernah menganggap perjodohan adalah akhir dari segalanya... Appa berusaha mencintai eomma layaknya seorang pasangan." Pemuda itu menunduk memainkan jari-jarinya. "Tapi eomma tidak begitu, eomma tidak pernah jatuh cinta bahkan sangat merasa terbebani, hingga aku pun terlahir kedunia dengan rasa bencinya." lirihnya.

Hati kecil Jaemin tidak bisa berbohong untuk menutupi seluruh berasaan sedihnya, dia sangat tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan tidak pernah diakui kehadirannya.

"Hyung kau tau?" pemuda itu menoleh sesaat memastikan Jaemin mendengarkan ceritanya, lalu kembali menatap kedepan dengan kosong. "Ternyata cinta dan derita yang katanya akan membaik dalam sebuah drama yang kutonton, tidak pernah terjadi padaku." tangan Jaemin menggenggam tangan yang lebih muda. "Aku kira, setelah semua penderitaanku dan perjuanganku, eomma akan menoleh dan memanggil namaku, eomma akan menganggapku dan menyayangiku sama seperti yang kulihat dalam drama." Lelaki itu kembali menoleh pada Jaemin dan tersenyum pedih. "Tapi ternyata tidak begitu." anak itu terkekeh kecil. "Harusnya aku tahu, drama yang ku tonton hanyalah sebuah film yang penuh dengan kebohongan, seharusnya aku tak percaya itu." dia tersenyum kecut. "Drama tetaplah drama, semua kejadian itu tidak pernah nyata. Sama seperti keinginanku dipeluk dan disayangi oleh eomma."

Pemuda manis itu menatap Jisung dengan sendu, dia pun tak tahu harus berbuat apa sekarang. Perban dikepala Jaemin sedikit terlepas hingga hampir menutupi mata, dagu yang yang lecet juga beberapa tambalan di pipi. Melihat pemandangan itu sontak Jisung yang tadinya sedih langsung tertawa, dia melupakkan kesedihannya seketika. Raut wajah Jaemin berubah heran, kenapa Jisung tertawa sekencang itu? Padahal anak itu tadi hampir saja menangis.

"Heh kenapa kau tertawa?" dia melihat kekiri dan kekanan mencari sesuatu yang membuat lelaki Park itu tertawa, namun dia tak menemukannya.

"Hahaha hyung kau lucu sekali..." Jisung sedikit menekan bagian perutnya yang terasa keram karena tertawa.

Jaemin merengut tak mengerti. "Kau ini sebenarnya kenapa?"

Jisung mencoba meredam tawanya, dia melirik Jaemin yang masih dengan wajah bertanya. Tangan milik pemuda itu terulur membenarkan perban yang tadinya longgar kini ia lilitkan lagi dikepala yang lebih tua.

Cautivador | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang