Senandika | 01

20 2 0
                                    

Senandika : Percakapan tokoh dengan dirinya sendiri.

--|--

(9 bulan sebelumnya )

Nalara Achaya bukan pribadi yang polos, meski wajahnya terbilang lugu dengan mata yang di penuhi binar cahaya. Gadis itu banyak tahu dengan segala apa yang terjadi di sekitarnya.

Pun dengan sosok di depannya yang masih setia menatap dengan lamat. Kenan diam, tapi matanya tak berhenti menatap dalam. Si bajingan ini, selalu menjadikan sosok Nalara sebagai boneka dalam imajinasi kotor pria itu. Nalara tahu, hanya dengan tatapan menjijikkan yang selalu kenan tampakkan. Apalagi seringai di bibirnya yang semakin lebar, membuat Nalara muak.

"Lo mau apa sih? Gue mau pulang! Minggir!" Nalara mendorong tubuh Kenan dengan kuat, namun tubuh itu bahkan tidak mundur sedikitpun.

Tangan kenan tak tinggal diam, lelaki itu langsung mencengkeram lengan Nalara yang berusaha kabur. Mendorong tubuh kurus itu untuk menyandar ke dinding. Sial bagi Nalara, gang yang biasanya di lewati orang-orang, entah kenapa malah sepi. Memudahkan Kenan untuk melakukan apapun padanya, tidak akan ada saksi, kecuali mereka berdua.

"Nala, kamu jelas tahu kemauan aku sekarang apa. Masih mau bertanya, hm?" Kenan semakin mendekatkan dirinya. Membuat Nalara yang memberontak, memilih diam dan memalingkan wajah. Sial, Nalara ingin muntah melihat wajah menjijikkan Kenan.

"Gue gak tau dan gak mau tau. Kenan, jangan macam-macam. Gue bisa laporin lo ke polisi." Nalara mendesis seraya menatap tajam. Tapi sepertinya, laki-laki ini tidak mendengar. Kenan malah semakin memojokkannya.

"Aku mau kamu, Nala." Kenan semakin kurang ajar. Nalara memberontak saat melihat wajah kenan mendekat kearahnya.

Baru saja ingin memanfaatkan kaki yang bebas untuk menendang laki-laki itu, Kenan sudah tumbang dan berteriak kesakitan. Nalara sontak menolehkan kepalanya. Matanya langsung bersinggungan dengan mata gelap yang menyorot tajam seolah ingin membelah tubuhnya menjadi tumpukan daging. Siapa lagi ini?

Lelaki itu memutuskan pandangannya kemudian berjalan ke arah Kenan yang terlempar beberapa meter, membuat Nalara menyadari betapa kuat tendangannya pada Kenan. Di pastikan, tulang rusuk Kenan sedang tidak baik-baik saja. Minimal patah, semoga.

Kenan masih beradaptasi dengan rasa sakit di badannya, saat kakinya di injak hingga suara tulang remuk membuatnya kembali berteriak kesetanan. Sialan, Kenan mengumpat. Umpatan itu malah membuat lelaki yang baru saja menginjak kakinya balik menginjak kaki yang satunya.

"Tidak adil kalau hanya satu kaki, bukan?"
Suara berat yang terdengar mengalun rendah. Semakin membuat Kenan ketar-ketir. Dia berhasil berurusan dengan orang yang salah.

Nalara hanya diam memperhatikan. Seolah melihat singa yang sedang membantai anjing hutan. Barulah ketika sosok yang mematahkan kaki Kenan berbalik, Nalara tersentak. Tatapan tajam itu kembali membuatnya meremang. Seolah sedang di tatap binatang buas yang tengah kelaparan.

"Te-terima kasih, om." Lirih Nalara mencoba untuk menahan getaran di suaranya. Sial, dia tidak pernah setakut ini sebelumnya. Lelaki itu mendekat membuat Nalara menahan keinginannya untuk berjalan mundur.

"Om? Saya bukan paman mu."

Nalara menelan ludahnya dengan sulit, lantas harus dia panggil apa?

"Gharta," Seolah membaca pikiran Nalara, lelaki itu menyahut, "Pulang, sudah malam." Lanjutnya.

Nalara mengangguk patah-patah, kemudian melirik Kenan yang sepertinya sudah pingsan. Baguslah, Nalara berharap lelaki brengsek itu setidaknya koma saja. Nalara tersenyum tipis kearah Gharta kemudian berbalik cepat tanpa menoleh ke belakang.

Gharta diam menatap punggung mungil yang kini menghilang di balik belokan. Menatap penuh arti kemudian melirik melalui sudut mata, kearah langkah kaki dari arah belakang.

"Tuan, semuanya sudah saya bereskan. Semua berkas penting sudah saya amankan di dalam brangkas."

"Kerja bagus, Friz. Sekarang bereskan juga lelaki di sebelahmu itu, kirim dia ke rumah sakit. Jangan lupa, hubungi keluarganya. Berikan ancaman untuk tidak menganggu gadis itu lagi."

Friz melirik ke arah samping sepatunya, menatap sosok yang tergeletak mengenaskan itu. Nasibnya sangat beruntung bisa lolos dengan keadaan yang masih baik. Karena jika sudah berhadapan dengan Tuannya, bisa saja tubuh itu sudah hancur terpisah-pisah. Friz penasaran, apa yang membuat Tuannya bergegas pergi, ternyata membereskan satu tikus yang menganggu target mereka. Tapi, tidak biasanya tuan Gharta turun tangan langsung, biasanya hanya mengutus bawahannya saja. Friz menekan rasa penasaran dalam benaknya.

Gharta mengambil langkah keluar gang sempit itu sembari memperbaiki pakaiannya yang sudah kusut. Setelah sampai di mobil, Gharta menyandarkan kepalanya di sandaran jok, sambil menutup matanya di lipatan lengan. Bibirnya menyeringai tipis.

"Dasar kelinci." Gumamnya.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang