Arkais | 04

8 2 0
                                    

Arkais : Berhubungan dengan masa lalu atau cerita kuno.

——|——

(Nalara Point of View)

Hari sudah di penghujung sore, yang terlihat hanyalah lampu-lampu jalanan dan toko yang sudah sepenuhnya menyala. Bunyi kendaraan mengudara di tengah warna jingga perkotaan. Warna itu memantul dari kaca cafe di pinggir taman.

Aku berdiam diri di balik cafe, menatap pemandangan orang-orang dari balik jendela lebar dengan tenang. Ada yang tertawa sambil nongkrong di taman kota, adapula yang berjalan santai sambil berpegangan tangan dengan senyum malu-malu khas remaja kasmaran.

"Nih ... Kopi hangat," sebuah tangan terulur menaruh kopi hangat yang mengepul dari gelas kertas di atas meja berhasil menarik pandanganku. Si pemilik tangan duduk di kursi depan sambil menaruh kopi lainnya. Menyesap pelan-pelan minuman berkafein itu dengan tenang.

"Makasih. Lo nggak kerja Ta? Bukannya masih shift lo ya?" Tanyaku. Cowok yang ku panggil Arta itu menaruh kopi yang dia pegang perlahan. Menumpu kedua tangan di atas meja.

"Masih sih. Tapi pelanggan udah kosong, jadi bisa istirahat. Toh siapa yang bakal protes?" Aku mendelik, tentu tidak lupa bahwa remaja di depanku ini adalah adik dari pemilik cafe yang mencari kesibukan dengan bekerja membantu kakaknya.

"Lo nggak pulang? Kan kerjaan lo udah beres."

Aku meneguk kopi di depanku sebelum menjawab, "Nanti. Lagipula gue gak perlu khawatir ninggalin adek di rumah, soalnya udah ada tetangga yang jaga."

Arta mengangguk paham. Setelahnya, Arta hanya diam sambil meminum kopinya. Usia ku yang terpaut satu tahun lebih tua tidak membuat Arta ber-keharusan memanggilku dengan sebutan 'mbak' atau semacamnya. Katanya dia tidak mau repot-repot, lagipula hanya beda setahun. Aku menyetujuinya pula, tidak terlalu perduli dengan sebutan remaja itu.

Langit mulai gelap, pertanda malam sudah mulai mengambil alih. Aku memilih pulang dan menyerahkan cafe kepada Arta, aku kan juga sudah bebas jam kerja. Jarak rumah dan cafe tidak sepenuhnya jauh, tapi tidak terbilang dekat juga. Namun, aku lebih memilih jalan kaki sembari menatap sekeliling yang temaram. Sejujurnya, aku biasanya pulang larut malam, tapi karena aku sudah berhenti bekerja di restoran (di pecat) jadi jam pulang ku juga berubah.

Entah apa yang yang aku perhatikan, sampai suara langkah kaki yang berbeda terdengar dari arah belakang membuatku menoleh dan tersentak. Di bawah tiang lampu yang tidak jauh dari ku, berdiri seorang pria yang menatap ke arahku. Dia memakai kemeja hitam dengan lengan siku yang di lipat hingga memperlihatkan lengan kekarnya.

Aku mematung. Dia orang yang menolongku satu bulan lalu, kalau tidak salah namanya, Ganu? Ghata? Oh Gharta!

Om Gharta berjalan pelan ke arahku. Masih dengan aura mengintimidasi yang pekat, membuatku tercekat dengan tubuh diam seperti patung.

Atmosfir aneh di sekitar kami membuatku mendadak canggung. Apalagi om Gharta yang hanya diam menatapku, tanpa berkata-kata, tanpa mengajakku bicara. Dia menyeramkan, tapi juga tampan, jujur.

"A-ada apa? Aku ada salah ya?"

Sebelah alis pria itu naik, seolah bertanya. "Itu ... Kau menatapku tajam, sejak tadi,"

Aku bisa merasakan, tatapannya sudah tidak setajam tadi, tapi masih agak mencekam. Benar-benar aura yang bisa membuatmu merinding luar dalam.

"Kelinci."

Hah? Apa?

"Ke-kelinci?" Dia menatapku penuh arti.

"Kau ... Kelinci." Ucapnya sambil berjalan mendahuluiku. Apa katanya? Memangnya wajah ku mirip kelinci begitu?

"Dengar ya tuan, mirip kelinci dari mananya? Aku ini manusia tahu!" Teriakku sambil berbalik menatapnya  yang beberapa langkah di depanku.

Om Gharta menghentikan langkahnya dan berbalik, memasukkan kedua tangannya di saku celana. Wajahnya masih datar, tetapi entah kenapa aku bisa melihat sorot mengejek di sana.

"Kelinci ketakutan." Sahutnya dan kembali melanjutkan langkahnya.

Apa dia tidak sadar tatapan mata tajam itu sudah seperti singa kelaparan? Wajar kan kalau aku takut. Aku menatap nyalang punggungnya, mengumpat di dalam hati sambil cemberut kesal. Laki-laki aneh!

"Berhenti mengumpat! Pulang!" Aku masih diam di tempat.

Lelaki itu menoleh, dalam remang-remang aku bisa melihat tatapan mata tajamnya. "Kau, ku antar!"

***

Di belakang mereka, Friz mengamati dalam diam. Pikiran pria itu berkecamuk, bodoh jika dia tidak sadar. Malahan salah satu bawahan dari Gharta itu sudah lama peka. Ada yang salah dengan Tuan Gharta!

Lelaki cuek dan tak perdulian itu jelas tidak pernah menunda rapat malamnya, bahkan saat mendengar berita tuan muda Ghani terserempet motor dulu, Gharta tetap tak menampilkan respon apapun di tengah rapatnya. Tetapi hari ini lelaki itu membatalkan rapat yang seharusnya berjalan setengah jam lalu hanya untuk mengantar seorang gadis secara pribadi.

Benar-benar bukan Tuan Gharta sekali!

[]

Selamat kenalan dengan Artayasa! ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat kenalan dengan Artayasa!
^^

Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang