Sraddha | 14

9 1 0
                                    

Sraddha : (Dalam bahasa sansekerta, bermakna serupa dengan 'keyakinan, kesetiaan, atau iman')

—}{—

"Ma, Rafa nda mau makan."

"Loh, kalau nda makan nanti Rafa sakit perut. Kalau sakit nanti di suntik, sayang. Rafa mau di suntik?"

"Nda mauu!" Bibir mungilnya semakin cemberut. Dengan mata bulat yang berkaca-kaca.

Sudah seminggu sejak kepergian teman Rafa, namun bocah itu tetap murung bahkan tak berniat keluar dari kamarnya. Dia bersikeras tetap diam, termenung di depan jendela, bahkan sering melewatkan makan.

Kiran menatap wajah murung Rafa dengan sendu. Hatinya ikut meringis melihat keadaan anak semata wayangnya itu.

"Rafa sayang, coba lihat mama ..." Ucapnya pelan. Kiran menangkup wajah putranya dengan kedua tangan sembari menatap teduh wajah lesu sang anak.

"Gen pasti sedih kalau lihat Rafa nda mau makan, murung seperti sekarang. Rafa mau Gen sedih di atas sana?"

Bulir mata menetes di pipi bulat Rafa, anak itu menggeleng pelan. Kiran tersenyum lembut, mengusap air mata di pipi bulat itu.

"Makanya, Rafa harus ceria lagi ya? Kita semua juga sedih lihat Rafa sedih."

"T-tapi ma, kenapa Gen harus pergi? Rafa nggak mau Gen pergi! Nanti Rafa main sama siapa?" Tanyanya dengan nada yang bergetar.

Kiran memeluk putranya dengan lembut. Mengelus rambut Rafa penuh kasih sayang, di tengah tangis anak itu.

"Nak, Gen pergi karena memang sudah waktunya. Kita nggak bisa apa-apa kecuali doa-in Gen supaya bahagia di tempatnya sekarang. Rafa harus bahagia juga, masih ada mama, papa sama calon adek yang nemenin Rafa. Suatu saat nanti, kita pasti bakal ketemu Gen lagi."

Rafa semakin terisak. Memeluk erat leher dan menyandarkan kepalanya di pundak Kiran. Kehilangan sosok seperti Gentala benar-benar membuatnya sedih. Hanya Gen yang mau dia ajak berteman. Gen adalah teman yang baik, di luar sifat cueknya, Gen tetap yang paling Rafa sayangi. Tetapi tiba-tiba, Rafa harus di hadapkan dengan situasi dimana Gen pergi, dan dia harus terpaksa merelakannya.

Cukup lama Rafa menangis, dengan Kiran yang senantiasa mengelus punggungnya hingga akhirnya ia terlelap dalam dekapan hangat Kiran.

Sosok Derka yang sedari tadi menatap keduanya dalam diam memilih mendekat. Duduk di samping istrinya dan mengelus rambut Rafa dengan pelan.

"Kita harus apa, mas? Aku nggak mau liat Rafa terus-menerus sedih kayak gini."

Derka beralih mengelus lengan Kiran, "Mas juga sedang berusaha, sayang. Kasus Gen masih berjalan. Meski pelaku penabrakan itu meninggal, bukan berarti kasusnya juga akan di tutup. Mas akan bantu pihak Gentala, supaya anak itu dapat pergi dengan tenang."

"Sebagai seorang ayah, dan juga pihak yang mengusut kasus ini, Mas akan berusaha."

***

Hujan yang deras sejak sore sudah berubah menjadi gerimis kecil tengah malam ini. Nalara yang duduk di tempat tidur menatap tetesan air itu dalam diam. Sudah banyak yang terjadi, sejak Gentala pergi yang hanya di pikirkan oleh Nalara adalah cara untuk memulihkan pikirannya yang kacau.

Bohong jika ia tidak trauma, penampakan Gentala saat berlumuran darah masih benar-benar membuatnya ketakutan sampai sekarang. Perasaan sesak yang berujung mual hingga muntah, membuat fisiknya melemah.

Nalara bersyukur, setidaknya Om Iyo dan Tante Dian banyak mengiriminya pesan ataupun datang berkunjung sesering mungkin untuk melihatnya serta memberikan banyak pelukan. Juga, kehadiran Gharta yang membuatnya tak sendirian.

Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang