Gemintang : Rasi bintang.
—}{—
"Mas, udah ketemu?" Wanita itu berseru sambil berjalan tergesa-gesa menghampiri sang suami yang baru saja tiba.
"Kamu tenang aja, Nala ada sama temannya."
Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas lega sambil memegangi dadanya, "Duh, aku udah mikir yang enggak-enggak. Astaga. Jadi, sekarang gimana? Kita bisa ketemu mas sama Nala?"
"Kalau itu, kayaknya belum bisa sayang. Tunggu dulu ya sampai keadaan Nala stabil. Kita masuk dulu, mas lapar nih!" Ucap Om iyo sambil memegangi perutnya yang keroncongan.
Pasutri itu memasuki rumah sembari berbincang mengenai kesehariannya. Tak di pungkiri, perasaan rindu dan kehilangan masih membekas dengan kuat sampai sekarang. Sudah lewat tiga hari sejak kepergian Gentala. Semakin hari semakin besar kehilangan itu.
"Mas, aku rindu sama Tala ... "
Om iyo mengelus bahu istrinya dengan lembut, wanita kesayangannya itu sudah terisak pelan. Apalagi saat memandangi nasi goreng dengan campuran telur di depannya. Makanan kesukaan Gentala, makanan yang selalu anak itu makan saat datang ke rumahnya.
"Sabar sayang. Kita pasti bisa merelakan Gentala. Tala pasti sekarang udah bahagia sama orang tuanya di atas sana. Jadi, kita juga harus berbahagia dan menjalani hidup. Bukan dengan melupakan Gentala, tapi menjadikan Gentala sebagai kenangan yang indah."
Om iyo menarik pelan istrinya dalam rengkuhan. Mengelus punggung istrinya dengan lembut. Mereka sama-sama kehilangan. Kehilangan sosok Gentala jelas adalah hal yang paling menyakitkan. Anak yang ceria, pintar, dan penurut itu tak di sangka kembali dengan cepat. Meninggalkan banyak hal bagi mereka, meninggalkan banyak kenangan. Anak itu akan selalu ada dalam ingatan, Gentala dengan senyumannya yang indah.
Lelaki paruh baya itu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Merengkuh lebih erat sang istri.
***
Di sebuah cafe di dekat taman kota, Arta duduk diam di kursi sambil menatap lalu lalang orang di luar sana. Secangkir kopi di depannya sudah mendingin, pun dengan semangkuk eskrim yang sudah mencair. Perpaduan makanan yang cukup aneh, secangkir kopi dan semangkuk eskrim jelas bukan hal yang biasa.
"Lo lagi mikirin apa? Muka lo kayak galau banget."
Kakak perempuannya mengisi kursi kosong di seberang meja. Menatap wajah Arta yang sedari tadi tertekuk, namun mata itu menyorot kosong ke arah luar cafe. Dia sebenarnya tidak terlalu sering berinteraksi dengan Arta, meski hubungan mereka terbilang baik. Adiknya bukan orang yang mudah untuk bergaul, sejauh yang ia kenal selama ini.
"Gue cuma mikir tentang teman gue, kak. Dia baru aja kehilangan adeknya yang udah dia rawat sejak bayi. Bahkan adeknya itu ketabrak di depannya sendiri."
Arta mengalihkan pandangannya ke arah kopi yang sudah tak hangat lagi. Sedangkan sang kakak hanya terdiam, tercekat dengan lidah kelu. Wanita itu terkejut.
Arta kembali diam. Namun matanya menyorot penuh arti. Sebuah tatapan asing yang membuat wanita di depannya bergetar.
"Gue enggak bakal pandang bulu, kalau itu tentang Nala. Kakak paham, kan?"
Istri Haidan Wijaya itu paham, sangat paham dengan ancaman sang adik.
***
Ghani duduk bersandar dengan tatapan yang tak lepas dari komputer. Lelaki itu menumpukan siku di pegangan kursi sembari tersenyum sinis.
"Sudah mulai, ya? Dasar gak sabaran! Gue harus kerja keras nih gara-gara si bajingan bau tanah itu."
Ghani meraih ponsel, menekan satu digit tombol kemudian menaruh telepon itu ke depan komputer, tak lupa menyalakan loud-speaker.
"Gue mau lo bergerak sekarang, kayaknya si tikus itu udah gak kasih rem. Main gas aja."
'Gue juga mikirnya gitu. Jadi rumah sakit apa kuburan nih?'
Ghani melebarkan seringainya.
"Rumah sakit dulu aja. Gak asik dong kalau langsung is dead, jadi gak seru ceritanya!"
Sosok di balik sambungan panggilan terkekeh pelan. 'Iya juga sih. Tenang aja Ghan, besok lo bakal dapat kabar bahagia.'
Sambungan itu terputus. Ghani memutar kursinya, berhadapan dengan lelaki yang sedari tadi berdiam diri di belakang sambil menatap kegiatan Ghani.
"Gimana, bang? Seru gak pertemuannya?"
"Kau memata-matai ku?" Serunya cepat dengan memicingkan matanya tajam.
Ghani mengangguk acuh.
"Jelas dong! Ya kali enggak, kesempatan gak datang dua kali, bang,"
Ghani terdiam sejenak, menikmati ekspresi kacau sosok yang di panggil 'abang' itu. Senyuman miring terpatri di bibir cantiknya.
"Jadi pak tua sekutu ternyata. Abang udah tau ceritanya, jadi gimana? Gabung gak? Masih open member nih!" Ucap Ghani sembari di akhiri gurauan.
Lelaki di depan Ghani tau, rencana apa yang akan pemuda itu jalankan. Jelas, tujuan mereka sama, tetapi ada sesuatu yang harus ia luruskan terlebih dahulu.
"Tuan Gharta harus tahu semuanya, Ghani." Kali pertama, ia memanggil nama pemuda itu dengan nama.
"Lo tenang aja, bang. Gue sendiri yang akan kasih tahu kak Gharta, semuanya. Setelah kak Gharta tahu, kita bakal mudah mengambil langkah 'kan? Apalagi, bang Gharta kayaknya udah menaruh perasaan ya?" Gumam Ghani menopang dagunya di tangan, menatap jenaka ke arah depan.
"Cih, cuman ketutup gengsi itu. Dasar tembok!" Lanjutnya dengan menggerutu.
Kalau masalah perasaan tuannya, Friz juga tahu. Beberapa bulan terakhir, kelakuan tuan Gharta menambah keyakinannya. Ternyata bukan hanya dia yang peka.
"Jadi, gue anggap bang Friz di pihak kami."
Ghani menatap Friz dengan senyuman, lebih tepatnya seringai. Manik mata Ghani mengkilat, menampilkan sorot yang baru pertama kali Friz lihat, dan pertama kali Ghani tunjukkan di depannya.
Friz menghela nafas dengan pelan, semoga saja hal ke depannya, tidak akan menyakiti Gharta terlalu dalam. Seperti yang ia takutkan sejak dulu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak Yang Patah
Short Story(Slow update!) -Judul lama Efemeral (Nalgha)- (Efemeral : Tidak kekal hanya bersifat sesaat) Kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan maut, membuat Nalara harus bertahan hidup berdua dengan sang adik yang baru berumur 4 bulan. Gadis itu berta...