Arunika : Fajar atau Matahari terbit.
--|--
Kedatangan tuan muda di sambut suka cita oleh bawahan dan pelayan mansion Gharta. Tidak ada yang tidak tahu pemuda itu, karena Ghani adalah sosok paling extrovert di keluarga atasan yang mereka layani. Sejak dulu kepribadiannya yang ekstra itu, memberi angin segar bagi penghuni mansion yang sudah bertahun-tahun ini di timpa kabut hitam Gharta. Ya seperti itulah perumpamaannya.
Gharta dengan kepribadian tidak peduli-nya dan Ghani dengan kebawelan-nya terlihat kontras jika di satukan di ruangan yang sama. Seperti sekarang, di ruangan luas ruang tengah mansion.
Ada Ghani yang duduk menyender di sofa dengan kedua kakinya yang bertumpu di atas meja, sesekali cekikikan hingga membuat gingsulnya mencuat karena hal lucu di layar segi panjang di tangannya. Sedangkan di sofa tunggal samping, ada Gharta yang duduk elegan dengan pandangan menyorot tajam ke arah pemuda yang masih sibuk tertawa tidak jelas, yang notabenenya adalah adik kandungnya.
"Ekhem ... "
Ghani melirik ke arah kakaknya, menyadari tatapan tajam yang seolah menembus relung jiwa khas Gharta tertuju padanya, membuat Ghani sontak duduk tegak sambil meletakkan handphone di atas meja. Dalam hati, pemuda itu mengumpat kesal. Ayolah, dia baru saja sampai! Dia ingin berleha-leha tapi malah di tatap bak mangsa oleh seekor singa!
Kakaknya itu benar-benar tidak sabaran!
"Kak, aku haus. Duh ... Tenggorokanku seret nih! Butuh yang dingin-dingin! Tuan rumahnya benar-benar tidak memperhatikan tamu sampai tidak menyediakan minum! Kasian sekali aku ini!" Keluh Ghani sambil menggelengkan kepalanya dramatis. Pemuda itu berniat menunda pembicaraan.
"Kalau haus, minum! Bukannya drama!" Gharta berseru dengan pedas.
"Kak ...! Kau ini tidak peka sekali!" Rengek Ghani dengan wajah memelas. Gharta semakin yakin bahwa pemuda di depannya hanya bertambah umur bukannya bertambah dewasa. Ghani tidak berubah dari terakhir kali mereka bertemu, masih saja seperti bocah!
"Makhluk hidup itu harus peka, kak! Kalau tidak peka ya bukan manusia namanya! Binatang saja peka terhadap rangsangan! Kenapa kakak malah tidak peka sekali?!"
"Kalau kakak tidak peka seperti ini, bisa-bisa jodoh kakak akan kabur, memilih pria lain yang lebih perhatian!"
Pembicaraan mereka malah melebar kemana-mana. Ya, Ghani tetap sama. Umur memang hanyalah angka bagi pemuda itu. Friz menatap tuannya yang kini memijat dahinya dengan frustasi. Seumur-umur hanya tuan muda yang bisa membuat tuannya berekspresi tertekan seperti itu. Oh, satu orang lagi. Gadis yang kemarin membuat Gharta tersenyum tipis, Nalara.
"Kini aku tahu kenapa kakak belum menikah sekarang, pasti karena sifat kakak yang seperti ini membuat para gadis belum mendekat saja sudah langsung kabur! Ya ampun kak, apa perlu aku ajari kakak cara yang tepat dan cepat menggaet gebetan yang kabur? Kalau kakak mau, aku bisa memberikan tipsnya sekarang! Yang pertama ... "
Bla bla bla
Gharta tidak sanggup mendengar lebih lama lagi. Pria itu langsung berjalan pergi menaiki tangga menuju ruang kerjanya melupakan niatnya untuk menginterogasi Ghani. Ghani dengan celotehan tidak bermutu itu hanya membuatnya sakit kepala. Friz mengikuti tuannya dengan diam, menoleh singkat ke arah Ghani yang kini tersenyum lebar.
Friz sadar sedari tadi akan niat Ghani. Pemuda itu sepertinya tidak berniat memulai pembicaraan penting tersebut dengan tuan Gharta.
Ghani menatap puas ke punggung kakaknya yang menghilang di balik lorong mansion. Senyum lebarnya yang tadi merekah kini memudar di gantikan ekspresi datar. Sebuah eskpresi yang bertolak belakang dengan kepribadian Ghani.
'Maaf kak, aku akan memberi tahu semuanya jika sudah waktunya'
***
Gentala menatap sikap kakaknya dengan heran. Pasalnya dari kemarin, dia selalu terdiam melamun kemudian cemberut. Membuat Gentala penasaran. Apa gerangan yang membuat kakaknya bertingkah aneh dari kemarin?
"Kak ...!" Anak itu menarik ujung baju Nalara. Membuat sang kakak yang tengah menyiram bunga menoleh. Nalara segera meletakkan selang di tanah, kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan Gentala.
"Kenapa, sayang? Tala butuh sesuatu?" Tanya nya lembut sembari mengusap rambut Gentala yang mulai memanjang.
Gentala menggeleng. "Nggak kok. Tala cuman penasaran kenapa kakak sering cemberut hari ini. Kakak ada masalah ya?"
"Enggak! Kakak gak ada masalah apa-apa!" Sanggah Nalara dengan cepat. Merutuki sikapnya yang blak-blakan. Pertemuannya dengan Gharta kemarin masih membuatnya kepikiran.
Gentala hanya diam menatap wajah kakaknya, kemudian teringat sesuatu.
"Oh iya! Tala mau minta ijin kak! Mau beli chiki di warung mbak Eka."
"Sendiri? Mau kakak temenin?" Gentala menggeleng kuat, "Nggak usah kak. Gentala bisa sendiri kok! Tala janji bakal hati-hati."
Nalara mengangguk pelan, "Yaudah, tunggu sini bentar! Kakak ambil uang dulu di kamar,"
Gentala menahan bahu Nalara yang akan berdiri, menggoyangkan telunjuknya ke kanan-kiri. "Enggak usah kak, uang jajan Tala masih banyak yang ke simpan. Tala pake itu aja."
Nalara baru akan memprotes, tapi kemudian terkesiap karena tindakan Gentala yang mengecup pipinya dengan cepat lalu berbalik berlari keluar rumah. "Tala pergi dulu kak!"
Nalara hanya diam melihat punggung kecil adiknya yang menjauh kemudian menghilang di belokan. Entah kenapa melihat punggung itu membelakanginya, Nalara merasa gelisah.
Namun gadis itu memilih acuh, selagi dia ada, Gentala akan baik-baik saja. Nalara menepis perasaan menyengat di hatinya kemudian berbalik memasuki rumah.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak Yang Patah
Short Story(Slow update!) -Judul lama Efemeral (Nalgha)- (Efemeral : Tidak kekal hanya bersifat sesaat) Kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan maut, membuat Nalara harus bertahan hidup berdua dengan sang adik yang baru berumur 4 bulan. Gadis itu berta...