Nalara - 17

12 1 0
                                    

"Katanya waktu adalah obat, tetapi semakin waktu berjalan, luka itu malah semakin menganga."

––}{––

   Di usia 15 tahun, dia hanyalah seorang anak yang beranjak remaja. Menjadi sosok putri yang berada di lingkup keluarga bahagia, dengan kehidupan yang sederhana. Orang tuanya adalah dua orang yang paling Nalara cintai, kemudian di tambah dengan kehadiran seorang adik laki-lakinya yang menggemaskan. Kehidupannya sudah sempurna.

Dunia masa kecilnya di penuhi dengan tawa. Dunia seolah mendukung kebahagiaannya yang tak seberapa. Namun, hari dimana kejadian naas yang berhasil merenggut kedua orang tuanya, seluruh harapan yang tertanam di hati ikut meluruh. Melihat dengan matanya sendiri bagaimana mayat ayah dan ibunya saat itu, Nalara nyaris tak dapat mengendalikan kewarasannya.

Tidak apa-apa, jika boneka mainan yang ia pesan tidak di belikan oleh sang ayah.

Tidak apa-apa jika dia tak mendapatkan hadiah yang ia inginkan saat ulang tahun.

Nalara tidak masalah selama mereka masih sehat, dan ada bisa ia lihat sepanjang waktu.

Namun nyatanya tidak semua hal yang manusia dapat ia dapatkan, mendengar kabar buruk tiba-tiba tentang kematian kedua orang yang ia cintai sekaligus, membuatnya tak dapat mengucap sepatah kata pun. Saat itu, Nalara hanya diam mendengar suara sambungan telpon rumah yang masih tersambung, dan tangisan keras Gentala yang nyaring turut memekakkan suasana.

***

Matahari sudah akan sepenuhnya terbenam. Meninggalkan jejak warna indah senja yang mengabur. Langit di penuhi warna gradasi yang tampak berkilau, memantul di kedua manik matanya. Ia, seorang lelaki dengan kemeja tak beraturan yang kini terduduk di samping ranjang. Rambutnya acak-acakan.

"Na, kamu tahu?" Suaranya yang rendah mengalun lembut.

"Hm? Tidak. Tahu apa?" jawabku.

"Katanya manusia itu adalah makhluk paling serakah, dan penuh dosa.  Mereka seringkali berbuat salah entah sadar atau tidak. Kadang ketika mereka menyadarinya, mereka akan meminta maaf. Kadang pula, saat mereka sadar, mereka memilih untuk diam saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, Manusia melakukan kesalahan karena mereka punya alasan. Menurut kamu, apakah mereka pantas di maafkan?"

Aku menatapnya dengan seksama. Memperhatikan kedua mata hitamnya, kelopak mata yang simetris dengan rona gelap di bagian bawah matanya.

"Dimaafkan karena alasannya atau karena kesadarannya?" Aku balas memberi tanya.

"Karena keduanya?"

"Entahlah. Om– maksudku Gharta punya salah?"

Dia terlihat agak canggung. Bahunya seringkali menegang, dengan mata yang berkedip cepat dari biasanya. Dia hanya terdiam, membuat suasana kembali hening.

Waktu berjalan semestinya, sudah dua minggu lamanya sejak aku menerima izin dokter untuk bebas dari pelayanan rumah sakit. Rumah milik Gharta adalah tempat yang sekarang aku tinggali untuk menetap. Entah sampai kapan, aku pun juga tak tahu. Mungkin, sampai Gharta mengusirku?

Hubungan kami tidak bisa di bilang dekat, tidak juga di bilang asing. Aku hanya menerima setiap perlakuan Om Gharta, perhatiannya yang cukup berlebihan dan setiap tingkah ragu-ragu, seolah ia sedang mengurus sebuah kaca yang mudah pecah. Sikapnya berubah 180 derajat, dari pertama kali kami bertemu.

Sapaan dan perkataan formalnya sudah berubah sejak seminggu yang lalu. Gharta yang kaku dan selalu berbicara formal akhirnya bisa berbicara dengan santai. Begitupun aku, cara bicara ku menjadi lebih sopan. Daripada menggunakan 'gue-elo' nyatanya lebih nyaman dengan 'aku-kamu' agar lebih menyesuaikan dengan Gharta.

"Kamu mau mandi dulu atau makan malam?" Gharta beranjak berdiri dari posisinya.

"Mandi. Kan masih sore, belum waktunya makan malam."

Gharta melirikku dari sudut mata, mengangkat telunjuknya ke arah jendela yang menampakkan panorama langit yang tak seterang tadi.

"Langit udah gelap. Artinya udah mau malam."

Lelaki itu menarik gorden hingga menutupi jendela. Kemudian kembali menghampiri ku lagi. Berdiri dengan tangan di saku celana kain selutut yang ia pakai, bukan style-nya sama sekali tapi tetap dia pakai. Sebenarnya, aku yang membelikan celana itu secara online dengan usulan dari bawahannya, Friz. Mana ku tahu, ternyata ini pertama kalinya ia memakai celana selutut yang menampilkan betisnya.

"Bisa berdiri? Atau mau ku antar ke kamar mandi?"

Aku menggeleng. "Tidak usah. Aku bisa jalan sendiri kok!"

Aku bangun dari posisi duduk, berjalan ke arah kamar mandi. Gharta masih ada di kamar sambil memperhatikan langkahku dengan seksama. Mungkin cemas jika kaki ku terantuk meja.

Tidak butuh waktu lama untuk ku membersihkan diri, hanya beberapa kali membilas tubuh dan keramas saja. Tidak perlu menggunakan skincare apapun, atau semacam parfum khusus bathup yang berjejer di rak kamar mandi dengan berbagai aroma. Ya, khas kamar mandi sultan.

Aku hanya butuh waktu kurang dari 20 menit untuk mandi. Setelah menyiram rambutku sampai tak berbusa lagi, aku meraih kimono yang tergantung di dalam sebuah etalase kaca di samping pintu.

Bodohnya, aku lupa mengambil pakaian ganti. Bagaimana jika Gharta masih ada di luar sedangkan aku saja masih memakai kimono sebatas paha? Aku berdecak pelan. Tak ada pilihan, aku memilih untuk membuka pintu kamar mandi. Gharta masih di sana, duduk di kasur sembari memainkan ponsel.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang