Bimantara: Jiwa yang hebat
—}{—
"Lo yakin? Dia rumah kakak lo, kalau lo lupa."
"Gue yakin seratus persen, nggak kurang dan nggak lebih! Jadi lo diem aja! Cerewet banget, kek ayam!" Sahut Arta dengan sewot. Dari cafe sampai mereka sampai di rumah kakak perempuan Arta, Ghani tidak pernah berhenti menanyakan hal yang sama.
"Tapi, kakak lo bisa aja dalam bahaya!"
"Dia aja gak perduli sama orang yang mati karena ulah suaminya, untuk apa kita perduli dia kena bahaya atau enggak?" Arta meredam emosinya yang kembali memuncak.
"Lihat lo yang sekarang, gue tiba-tiba gak yakin dia kakak lo." Gumam Ghani miris.
"Lo bener. Kita gak perlu berbelas kasihan sama keluarga setan. Jadi, lanjut gak nih?" Lanjut Ghani.
Arta menyeringai melihat tatapan jenaka Ghani. Tentu saja mereka tidak akan mundur, meski melihat jajaran mobil mewah di depan rumah besar di depan sana. Anggap saja, keduanya akan membuat pertunjukan hebat di kandang setan –dengan raga manusia– itu.
"Gue itung sampai dua, setelah itu lo bisa lempar ke halaman rumahnya. Kena mobilnya juga gak papa. Apalagi kalau sampai masuk rumah, itu lebih bagus juga." Kata Ghani. Pemuda itu kemudian memberikan jempol ke arah salah satu anak buahnya yang ia beri perintah menyirami bensin di sekitar pekarangan depan rumah. Tentunya dengan menyamar sebagai satpam.
Arta mengeratkan benda di genggaman tangannya, sebelum menarik salah satu kain untuk menutupi mulut botol yang sudah mereka isi dengan bensin. Arta mulai membakar kain yang di posisikan sebagai sumbu itu dengan korek yang ada di tangannya.
"Satu!"
Api di kain itu sudah hampir menyentuh mulut botol.
"Dua! Lempar!"
Setelah aba-aba Ghani, Arta sigap melempar bom molotov itu ke arah pekarangan rumah kakaknya, tepatnya ke arah beberapa mobil mewah yang terparkir di sana.
Dan,
Boom!
Botolnya meledak pas setelah menyentuh tanah dan menggelinding di antara ban mobil. Membuat halaman depan rumah yang sudah basah oleh bensin itu dengan cepat di penuhi api.
Arta dan Ghani saling menatap kemudian bertos ria. Kedua pemuda itu saling merangkul dan berbalik badan. Membelakangi pemandangan mobil yang meledak dan para keluarga setan yang sudah syok di depan pintu rumah.
Pembalasan pertama, sudah selesai!
***
Gharta duduk dengan resah di kursi di ruangan kantor. Tumpukan kertas di depan meja nampaknya tak mampu menarik minatnya untuk mulai bekerja. Sesuatu yang tak biasa bagi seorang workaholic sepertinya. Pikiran lelaki itu selalu terpusat pada gadis yang kini ada di rumah sakit. Meski tetangga Nalara ada di sana, Gharta tetap tak bisa berhenti cemas.
Tok tok tok!
Hening.
"Tuan, anda kedatangan tamu." Friz langsung masuk ketika ketukan di pintu tak di gubris Gharta.
"Suruh pulang saja kalau tidak penting!"
"Tapi tuan, tamu anda seorang detektif kantor kepolisian pusat. Katanya ingin membahas sesuatu yang penting mengenai kasus Gentala."
Gharta terdiam, lalu berseru, "Suruh masuk!"
Mendengar perintah itu, Friz beranjak keluar ruangan. Gharta menutup berkas yang baru dia baca setengah itu, menyimpannya di dekat komputer dan berjalan menuju sofa di dekat meja kerjanya.
Sslang beberapa saat, Friz memasuki ruangan dengan sosok pria gagah yang mengikuti di belakangnya.
"Selamat siang, Tuan Gharta Lezander. Perkenalkan saya detektif dari kepolisian pusat kota, Derka Abian Laksmana."
"Ya. Silahkan duduk!"
Derka tersenyum tipis kemudian duduk di sofa panjang yang berseberangan dengan sofa tunggal yang sekarang di duduki Gharta. Pria itu menatap Gharta dalam diam, melihat bagaimana sosok ahli waris Lezander yang dulu, Derka nyaris putus asa, mencari informasi mengapa Gharta menjadi wali umum dari kasus ini. Dari hubungan darah, jelas Gentala bukan bagian dari keluarga Lezander.
"Jadi, apa yang membuat Pak Derka menemui saya secara tiba-tiba?" Gharta langsung membuka suara. Secara tersirat menyindir kedatangan mendadak oleh Derka.
"Maaf, sebelumnya saya datang tanpa membuat janji. Tapi berhubung anda adalah wali dari kasus ini, saya ingin bertanya sekaligus menyampaikan informasi terkait kasus kecelakaan yang di alami Gentala."
Gharta menumpukan kedua siku di paha, menautkan kedua tangannya dan menatap penuh minat kearah sosok Derka.
"Tapi, setahu saya, Pak Derka tidak ambil bagian dalam kasus ini. Kenapa anda turut ikut campur?" Tanya Gharta penuh intimidasi.
Derka meremas tangannya kuat. Dia tidak terlalu mudah berkeringat bahkan saat berada di hawa panas, namun di tatap sedemikian rupa oleh mata tajam penuh sorotan intimidasi oleh Gharta, membuat keringat dinginnya mengucur. Meski begitu, pria itu tak mungkin mundur, dia dan Gharta berada di pihak yang sama.
"Anak saya adalah teman sekelas Gentala."
"Lalu? Alasan itu belum cukup untuk membuatmu dapat ikut campur sesuka hati pada kasus yang bukan milikmu, Pak Derka." Suara itu mengalun pelan dan penuh tekanan.
"Saya adalah detektif yang sudah mempunyai lisensi resmi, menduduki peringkat paling depan bagi garda keamanan pusat kepolisian. Saya, akan ikut dalam penyelidikan ini. Bahkan tanpa di gaji sedikitpun."
Gharta tak menunjukkan banyak reaksi. Lelaki itu hanya mengubah pose duduknya menjadi lebih nyaman, bersandar di sofa. Friz yang hanya diam daritadi, berjalan ke arah meja Gharta dan mengambil beberapa berkas di sana dan menyodorkannya ke Gharta. Pose yang Gharta tunjukkan, adalah cara lain untuk menjawab bahwa Derka lolos dalam seleksi Gharta. Lolos dari ujian yang Gharta berikan sejak tadi.
"Bawa ini, dan keluar!"
Pria arogan itu melempar beberapa berkas kearah meja. Persetan depan pangkat lelaki di depannya, Gharta tak perlu susah payah berakting menghormati Derka lagi seperti tadi.
Derka tak banyak bicara. Dia langsung mengambil berkas itu dan menundukkan kepalanya singkat lalu berlalu pergi. Ia sadar sejak ia memasuki ruangan ini, bahwa Gharta sedang mengujinya. Tapi ia baru tahu bahwa ternyata aura lelaki itu memang tak main-main.
Derka memegangi erat berkas penyelidikan polisi di tangannya, dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan gedung.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak Yang Patah
Short Story(Slow update!) -Judul lama Efemeral (Nalgha)- (Efemeral : Tidak kekal hanya bersifat sesaat) Kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan maut, membuat Nalara harus bertahan hidup berdua dengan sang adik yang baru berumur 4 bulan. Gadis itu berta...