Klandestin | 10

8 1 0
                                    

Klandestin : Secara diam diam atau rahasia

--|--

Hujan mulai turun deras sejak tadi. Suasana lengang, dengan suhu yang dingin tidak mematahkan pendirian gadis itu untuk berteduh barang sejenak, dia tetap duduk bersimpuh di depan kuburan tak bernisan, di depannya. Tubuhnya basah dengan badan yang menggigil. Tangannya bahkan mulai mati rasa karena suhu dingin.

Dia tetap bergeming di tengah derasnya hujan. Barangkali rasa dingin yang menusuk tulang ini bisa mengantarkan jiwa nya untuk meninggalkan raga. Wajahnya sudah basah dengan air hujan dan air mata yang bercampur. Jika saja ada orang yang melihat, mungkin dia akan dikira hantu dengan keadaannya sekarang, wajah pucat dan gaun hitam selutut yang sudah kotor dengan tanah.

Suasana duka masih menggerogoti hatinya. Bayangan seorang bayi yang pertama kali menggenggam tangannya, membuatnya pilu. Sekian kalinya, ia di tinggal pergi lagi.

Dia tetap diam, bahkan ketika suara langkah kaki yang berlari kearahnya terdengar di tengah hujan dan tanah yang becek. Hingga saat tubuh gadis itu di tarik hingga berbalik.

Lelaki yang tengah menahan amarah di depannya ini, mencengkeram kuat lengannya. "KAMU SUDAH GILA HAH?!"

Teriakan itu menggelegar di tengah berisiknya hujan. Tatapan gadis itu kosong, seolah dia hanya raga tanpa jiwa, seolah dia hanya cangkang yang tak berisi nyawa. Wajahnya yang pucat dengan mata belo-nya yang sudah basah dan sembab membuat sengatan di hati lelaki itu. Tanpa kata lagi, dia menggendong tubuh gadis itu dengan cepat, menuju mobil yang terparkir.

"Rumah Sakit Daryaniga!"

Sang supir tanpa basa basi melajukan mobil itu dengan cepat. Dia bisa merasakan keadaan genting yang terjadi sekarang.

***

Gharta bukan pria yang baik. Sudah tak terhitung seberapa banyak nyawa melayang karena perbuatannya. Bagi lelaki itu, nyawa orang lain adalah hal yang gampang untuk dia lenyapkan, sesuatu yang tidak berharga jika di bandingkan dengan nyawa anjing.

Karena keyakinan itu pula membuat Gharta tersiksa. Sebuah nyawa tak berharga yang seharusnya sudah dia lenyapkan sedari dulu kini berbalik menyakitinya. Sosok Nalara adalah pengecualian. Nyatanya Gharta tidak sanggup melihat gadis itu terluka. Dia sudah jatuh, tersungkur dalam mata sayu Nalara.

Dulu, awal dia bertemu dengan gadis itu, tidak ada yang dia pikirkan selain membalas dendam. Dendam yang membuatnya terbakar, yang membuatnya tak bisa lepas dari masa lalu yang kelam.

Namun kala pertama kalinya berdekatan dengan gadis itu, Gharta tampaknya tidak sadar bahwa dia sudah terperdaya. Hati yang keras, dingin, dan tak tersentuh itu, perlahan melebur dengan kehangatan. Gharta tidak tahu, jika hanya dengan satu senyum tipis bisa membuatnya menghangat sedemikian rupa.

Menyaksikan bagaimana hancurnya gadis itu kala menemukan adiknya meregang nyawa di hadapannya berhasil membuat hatinya porak-poranda. Gentala adalah kelemahan sekaligus kekuatan Nalara, anak laki-laki tujuh tahun itu adalah satu-satunya hal yang paling Nalara lindungi. Melihat kematian adik tersayangnya yang mengenaskan, mental siapa yang tak hancur?

Meski tak dekat, Gharta adalah saksi bagaimana gadisnya itu merawat Genta dari kecil setelah kedua orang tua Nala meninggal dunia. Meski dalam bayang-bayang.

"Tuan," panggil Friz yang baru saja datang.

Gharta melirik singkat pada anak buahnya, sebagai jawaban untuk melanjutkan perkataannya.

"Nona Nalara sudah selesai di periksa. Keadaannya cukup stabil, sekarang sudah di pindahkan ke ruangan VVIP. Dokter mengatakan kepada saya agar wali dari nona bersedia menemuinya untuk penjelasan lebih lengkap atas keadaan nona."

Gharta menghela napas lega. Meski begitu, dia yakin, keadaan Nalara tidak sepenuhnya baik. Fisik maupun mental gadis itu, tidak pernah baik-baik saja.

"Aku akan pergi menemuinya. Beri perintah pada sebagian badan keamanan untuk menambah pengawasan di sekitar rumah sakit dan ruangan Nalara. Juga, sampaikan pada John untuk menggantikan jadwalku seminggu ke depan." Gharta melangkahkan kakinya meninggalkan taman. Menyisakan Friz yang masih menundukkan kepalanya.

Lelaki berjas hitam itu tak pernah melihat wajah tuannya seperti tadi. Wajah penuh kerisauan, dari kantor bahkan sampai dia mengantarkan Nona Nalara ke rumah sakit, Friz bisa melihat kegusaran di wajah datar Tuan Gharta.

Bertahun-tahun berada di belakang Tuan Gharta, tidak serta merta menjadikan Friz sebagai sosok yang bisa di sandingkan sebagai sahabat dari tuannya, meski memang di bandingkan anak buahnya yang lain, dia cukup beruntung bisa dekat dengan Tuan Gharta yang di kenal anti dengan pergaulan, bahkan pada bawahannya sekalipun. Sosok tak tersentuh itu membangun dinding yang kokoh, yang tidak dapat di tembus, dan membentengi pribadi Tuan Gharta yang dingin.

Tapi hari ini, benteng itu seolah melebur hancur.

Hanya di depan Nona Nalara, hanya karena gadis itu. Sosok yang sedari lama di pantau untuk membalas dendam, malah mencuri sesuatu yang tak pernah Friz duga. Tuannya sudah goyah. Bahkan Friz bisa melihat, tatapan mata yang dulunya menyorot penuh amarah dan dendam itu, sudah tidak ada lagi. Hanya sorot sedih, dan terluka yang dapat Friz lihat.

Hanya untuk dan karena Nalara Achaya.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang