Acyntia : (dalam bahasa sansekerta artinya melampaui segalanya)
—}{—
"Nalara?"
Gharta duduk di samping ranjang. Menggenggam tangan kurus seorang perempuan yang masih melamun. Sudah 20 menit dirinya duduk, tetapi Nalara tidak menampilkan respon apapun. Gharta benci di abaikan, tetapi jika itu Nalara, ia akan menerimanya.
"Di meja ada obat yang di resepkan dokter. Ku harap kau meminumnya dengan teratur." Katanya dengan intonasi datar, namun sorot mata yang menunjukkan kasih sayang. Untuk pertama kali, Gharta bersikap seperti ini. Sosok yang acuh, dan cuek itu tidak muncul saat bersama dengan Nalara.
Sudah terhitung seminggu, kondisi Nalara bisa di katakan membaik. Gadis itu sudah bisa duduk, dan menggerakkan badannya. dia juga tidak pernah kejang lagi semenjak teratur meminum obat yang diresepkan dokter. Namun, gadis itu tak pernah bicara dari seminggu yang lalu. Terkadang, Nalara akan menangis, menatap kosong kearah jendela. Lalu kembali diam seolah tidak terjadi apa-apa.
Gharta ada di sisinya, tak pergi barang sedikitpun. Lelaki itu akan menemaninya, mengajaknya bicara meski tak di respon. Sebisa mungkin ia membuat gadis itu nyaman.
Tiga hari yang lalu, ada tetangga Nalara yang datang. Mereka berdua di izinkan Gharta untuk menemui Nalara, tetapi gadis itu tak juga bicara. Hanya menangis dan memeluk erat keduanya.
Mungkin, Gharta harus memanggilkan psikiater untuk Nalara. Kejiwaan gadis itu pasti terguncang karena kematian Gentala. Lelaki itu berharap, tidak separah yang dia bayangkan.
Si pelaku penabrakan sudah di tangkap kemarin lusa tetapi supir itu berdalih bahwa mobilnya mengalami kerusakan rem yang membuatnya tak sengaja menabrak Gentala. Namun anehnya kemarin supir itu di temukan meninggal di sel tahanan saat sejam sesudah di interogasi. Dari laporan polisi, pelaku bunuh diri dengan meminum racun dengan bukti mulut membiru dan berbusa serta botol racun yang tak jauh dari tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan di badan, dia murni keracunan dengan dosis tinggi. Entah kenapa, Gharta malah semakin curiga. Karena itulah dia meminta rekaman interogasi dari kepolisian.
Jika seandainya si pelaku bunuh diri hanya karena merasa bersalah, kenapa saat di interogasi, pelaku itu malah menunjukkan sikap yang sebaliknya. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa bersalah, Gharta malah bisa melihat ada jejak kesenangan dalam mata si pelaku, meski wajahnya tak berekspresi. Tubuhnya cenderung diam dan tenang, tak menunjukkan reaksi, normalnya orang yang sudah menabrak seseorang sampai mati, pasti akan merasa gelisah, gemetar bahkan trauma ringan.
Asumsi yang paling Gharta pikirkan adalah pelaku itu hanyalah kaki tangan dalam artian orang suruhan. Dalang di balik kecelakaan ini, pasti ada hubungannya dengan keluarga Wijaya. Hanya itulah kandidat paling memungkinkan untuk menjadi pelaku utama di insiden ini.
Suara ketukan pintu mengalihkan pikiran Gharta. Lelaki itu mempersilakan masuk. Friz berdiri di ambang pintu sambil menunduk sopan.
"Permisi tuan, tuan muda Ghani ada di depan. Dia berkata ingin menemui anda."
"Kenapa tidak lewat telpon saja?"
"Tuan muda bilang, dia ingin membicarakan sesuatu yang penting." Friz bisa merasakan tatapan seksama Gharta ke arahnya. Diam-diam lelaki itu menelan ludah.
"Ck, Kau tinggal disini, jangan biarkan siapapun masuk." Gharta beranjak berdiri, membungkuk sejenak untuk mencium dahi Nalara yang sudah berbaring sambil memejamkan mata, berbisik pelan untuk menunggunya kembali. Dia kemudian berjalan melewati Friz yang menundukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak Yang Patah
Short Story(Slow update!) -Judul lama Efemeral (Nalgha)- (Efemeral : Tidak kekal hanya bersifat sesaat) Kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan maut, membuat Nalara harus bertahan hidup berdua dengan sang adik yang baru berumur 4 bulan. Gadis itu berta...