Akara | 11

7 1 0
                                    

Akara : Bayang

--}{--

Nalara tidak tahu tempat apa dia berpijak sekarang. Sebuah padang rumput luas dengan pepohonan yang rindang. Beberapa bunga berwarna warni memenuhi padang itu dengan indahnya. Semilir angin sepoi-sepoi membuat bunga-bunga itu berayun mengikuti arah angin.

Dia tidak pernah melihat tempat ini sebelumnya, namun perasaan damai dan tenang yang familiar membuatnya memejamkan mata. Sesaat kelopak itu kembali terbuka, dua sosok dengan tinggi yang berbeda nampak buram terlihat dari jauh sana. Sosok perempuan yang tengah menggandeng tangan seorang anak lelaki, mereka tertawa bahagia tanpa beban.

Nalara hanya menatap mereka dengan sayu, menekan dalam rasa bergejolak yang seakan mengobrak-abrik perasaannya.

"Putri mama ... "

Suara lembut itu mengalun, penuh dengan perasaan haru yang terasa menyesakkan dada Nalara. Matanya sudah basah, bahkan sungai kecil sudah mengalir dari mata ke dagu gadis itu.

"Kak Nala!"

Giliran suara sosok anak itu yang bergema. Senyum lebar dari wajah kecil itu membuat Nalara jatuh terduduk. Menunduk, menutup wajahnya dengan tangisan yang lambat laun berubah menjadi teriakan putus asa. Mencoba menguraikan perasaan yang ia pendam dalam hatinya. Rasa bersalah, kecewa, dan tak berdaya menekannya dengan kuat. Gadis itu terpuruk dengan hati yang berandai-andai.

'Andai saat itu, ia tak meminta orang tuanya menjemput mereka'

'Andai saat itu, ia tidak mengajak Gentala ke taman ...'

Sebuah pengandaian yang sia-sia.

Sentuhan di bahunya membuat Nalara tersentak. Sentuhan yang sudah lama tak pernah ia rasa, dari tangan besar dan hangat sang papa.

Sosok lelaki yang bersimpuh di depannya, mengelus rambut panjang Nalara dengan hati-hati dengan tangan satunya yang menggenggam erat tangan Nalara yang gemetar. Tersenyum teduh hingga mata yang sudah keriput itu menyipit. Helai rambutnya yang hampir penuh dengan uban tertiup oleh semilir angin. Rambut yang tak pernah berubah sejak tujuh tahun yang lalu.

Sampai beberapa tahun pun, sang papa masih sama. Tidak menua lagi, tidak bisa menggenggam tangannya seperti sekarang di dunia nyata.

"Pa ... Tolong ... " Pita suaranya seolah terhimpit, hingga yang bisa ia lakukan hanyalah merintih dengan pelan. Sang papa terdiam masih dengan senyumannya yang kian meneduhkan.

"Tolong pa ... Bawa Nala pergi kemanapun, ke tempat kalian juga. Jangan tinggalin Nala sendiri pa. Nala mau ikut ..."

"Nala gak punya siapa-siapa sekarang. Tolong .. bawa aku pergi!" Ucapnya di sela tangis yang makin mengeras. Bahunya bergetar. Tangisan itu semakin tak terkendali kala melihat sosok papa di depannya semakin transparan. Nalara menggeleng dengan keras, mencoba menggapai sosok bayangan itu, merengkuhnya kembali. Namun, secepat itu pula bayangnya menghilang tersapu angin.

Sedangkan di dunia nyata, Gharta dibuat panik saat mendapati tubuh Nalara kejang-kejang dengan mata yang terbuka. *EKG di samping ranjang Nalara yang menampilkan rekam kondisi jantung, berbunyi dengan cepat. Dokter dan beberapa perawat langsung bergerak cepat menangani Nalara yang tak berhenti kejang-kejang sejak tadi.

Setelah menyuntikkan obat anti kejang, obat itu berfungsi dengan jeda waktu beberapa saat, akhirnya kejang-kejangnya berhenti. Dokter menyuruh beberapa perawat untuk mengawasi keadaan pasiennya lalu keluar ruangan. Di sana sudah ada Gharta yang bersandar di tembok dengan wajah cemas yang kentara. Lelaki itu langsung menghampirinya dan bertanya keadaan pasien.

Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang