Kalis | 07

6 2 0
                                    

(Note : dari sini cerita akan menuju konflik utama)

------

Kalis : Suci, bersih, dan murni.

--|--

Hari berganti hari. Terhitung sudah lima bulan ini Nalara hanya bekerja di cafe. Tak lama sejak dia di pecat di restoran, pemilik warung makan tempatnya bekerja juga memecatnya tanpa alasan yang jelas. Nalara tidak bisa protes, takutnya malah dia semakin disudutkan jika ia berani mengambil tindakan. Nalara sadar diri, dia tidak bisa apa-apa.

Hal baiknya, dia punya banyak waktu untuk menemani Gentala. Bahkan gadis itu selalu mengantar adiknya ke sekolah setiap pagi. Jadi, Gentala tidak berangkat sendiri lagi seperti sebelumnya.

Nalara melirik jam dinding di belakangnya, lalu membawa gelas dan piring kosong serta merapikan meja cafe. Akhirnya jam kerjanya sudah berakhir, dia punya waktu untuk membuat kue ulang tahun untuk Gentala.

Ya, hari ini adalah hari ulang tahun ke-tujuh adiknya.

Nalara segera melepas kemeja kerja dan menggantinya dengan cepat. Mbak Gita yang baru saja masuk ruang ganti menyapanya kemudian di balas senyuman manis oleh Nalara.

"Ada apaan? Kok buru-buru banget?"

Suara Arta mengagetkan Nalara. Remaja itu baru saja masuk dan berpapasan dengan Nalara yang berlari kecil menuju pintu.

"Rahasia. Gue pergi dulu ya!" Sahutnya riang sembari melambai singkat ke arah Arta sebelum menutup pintu cafe. Di balas lambaian pula oleh pemuda itu. Arta berdiam cukup lama, menghela nafas panjang.

"Loh! Si Nala udah pulang?"

Arta menoleh ke arah Gita yang menutup pintu ruang ganti. "Iya Mbak, baru aja keluar tadi. Maklum dia buru-buru. Adeknya ulang tahun soalnya!" Di balas anggukan oleh Gita.

Arta tahu semuanya, tentang Nalara.

Malamnya di rumah Nalara.

Hari Ulang tahun ke tujuh Gentala di lakukan sederhana. Dengan kue buatan Nalara dan kehadiran tante Dian dan om Iyo. Gentala sedari tadi tersenyum lebar, menatap kue buatan Nalara dengan lilin bernomor 7 di atasnya. Perayaan yang sederhana ini membuat Gentala bahagia. Kehadiran mereka bertiga sudah cukup, Gentala tidak perlu pesta meriah.

"Ayo dong, di tiup!" Nalara duduk di samping Gentala berhadapan dengan Tante Dian dan Om Iyo. Meja segi empat di depan mereka sudah terisi oleh kue dan makanan ringan serta makanan berat buatan Nalara dan Tante Dian. Beberapa balon berwarna biru hitam menghiasi ruangan itu.

Gentala memejamkan matanya, berdoa sejenak kemudian meniup api di lilin hingga padam. Mereka bertepuk tangan, Om Iyo mengusap rambut Gentala, dengan ciuman Tante Dian di pipi anak itu.

Nalara menatap adiknya dengan perasaan hangat. Tidak ada yang lebih berharga daripada apapun di dunianya kecuali Gentala. Nalara tidak bisa membayangkan, se-hancur apa ia jika Gentala meninggalkannya. Memikirkan hal itu, hatinya kembali tersengat perasaan gundah.

Nalara tanpa kata memeluk tubuh adiknya dengan erat. Menenggelamkan perasaan tak tenang di hatinya. Mereka akan baik-baik saja. Gentala-nya tak akan kemana-mana.

Kepergian orang tua mereka memberikannya trauma mendalam, trauma yang membuatnya gelisah setiap saat.

Anak yang baru saja berusia tujuh tahun itu memeluk erat leher kakaknya, menyandarkan kepalanya di bahu Nalara. Pasangan paruh baya di depan mereka tersenyum, Om iyo mengusap kepala mereka berdua bergantian. Keduanya kemudian ikut berpelukan dengan perasaan haru dan bahagia.

Air mata Gentala menetes, dia berharap Tuhan akan memberikan kedamaian bagi kakaknya. Sebuah hal yang sedari dulu mereka inginkan. Hidup tanpa bayang-bayang ketakutan.

***

Sebagian besar waktu Ghani ia habiskan dengan malas-malasan. Kadang menjahili pelayan di mansion, atau menemani Friz kemanapun pria itu pergi. Bawahan kakaknya itu hanya bisa pasrah tanpa bisa mengusir tuan muda mereka yang entah kenapa menempelinya tiap saat.

"Bang Friz belum punya pacar ya pasti? Di lihat dari muka muka nelangsa situ, kayaknya bang Friz senasib sama kak Gharta."

Friz yang tengah berdiri diam di dekat pintu ruang kerja Gharta hanya bisa menekan kekesalannya. Sejak dulu, pemuda yang kini tengah duduk di lantai di samping kakinya itu memang selalu mencoba mengajaknya mengobrol, entah membahas dia yang masih sendiri atau membahas wataknya yang 11-12 dengan tuan Gharta. Namun Friz tahu, ada sisi berbeda dari Tuan muda Ghani yang sedari dulu membuatnya was-was.

Friz hanya bisa bersabar. Tuan Gharta pernah memberitahunya bahwa dia boleh saja sesekali menegur perbuatan atau perkataan tuan muda Ghani, namun Friz tidak pernah melakukanya hingga sekarang. Bukan karena takut, atau segan, tapi karena Friz sudah menganggap pemuda itu adiknya sendiri.

"Oh ya, Papa menanyakan kabar dari Bang Friz. Kapan bang Friz mau bertemu dengan Papa?"

Hening sesaat.

"Tuan besar akan datang?" Ghani mengangkat bahunya sebagai gestur tidak tahu. "Entah. Papa hanya bilang mau bertemu, dia yang datang atau bang Friz yang di suruh ke sana, Gue gak tau."

Friz terdiam merenung. Sedangkan Ghani menatap wajah pria itu dalam diam, melihat ekspresi datar tetapi mata yang menyorot gusar itu membuat Ghani tersenyum. Tebakannya tepat ternyata. Kecurigaannya selama ini terjawab dengan respon Friz saat ia menyebutkan nama papanya.

Ada sesuatu, antara Friz dan Papanya. Tidak mungkin Tuan besar Lezander itu menempatkan sosok Friz di samping Kak Gharta hanya untuk menjadi teman yang merangkap sebagai bawahan. Ghani bangkit berdiri, tingginya yang kini hampir sama dengan Friz memudahkannya untuk mendekati pria itu, kemudian berbisik, "Gue cuman mau bilang, tolong tetap di sisi Kak Gharta. Kita belum tahu bang, orang tua itu sekutu atau musuh."

Ghani mengambil langkah menjauh, setelah menepuk bahu Friz dua kali. Meninggalkan Friz yang terdiam, sisi berbeda itu benar-benar berbahaya ternyata. Peringatan Ghani hari ini adalah buktinya.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang