Galaksi | 05

8 2 0
                                    

Galaksi : Gugusan bintang-bintang

--|--

Nalara berjalan pelan, tidak jauh di belakang Gharta. Gadis itu sebenarnya terkejut, baik dengan kehadiran Gharta juga perkataan lelaki itu untuk mengantarnya pulang. Banyak pertanyaan yang hilir mudik di kepala gadis itu.

Mengenai sosok Gharta hari ini, juga perasaan was-was yang membuatnya segan dengan lelaki itu. Nalara bukan penakut, bahkan dulu saat berhadapan dengan preman, ia tak pernah takut  seperti saat bersama dengan Gharta. Ada aura yang tak biasa dari pria itu.

Kedua pertemuan mereka di lingkungan yang sama, membuatnya berpikir kemungkinan Gharta tinggal tidak jauh dari sini. Tapi di lihat dari penampilannya, dia lebih cocok tinggal di perumahan elite bukannya di perumahan yang agak sederhana seperti ini.

Nalara yang melamun sambil berjalan tidak menyadari bahwa Gharta berhenti berjalan. Membuat gadis itu menabrak punggungnya.

Dug!

"Aduh...!" Nalara mengusap jidatnya yang menjadi sasaran tabrakan tadi. Sejenak, gadis itu menyadari betapa kerasnya otot punggung Gharta pasti lelaki itu giat olaragah untuk membe- Sial! Nalara benar-benar merutuki pikirannya yang agak nyeleneh itu.

Gharta berbalik menatap gadis yang masih memegangi jidatnya.

"Gunakan mata mu, Nona."

Nalara tanpa takut menatap sengit ke arah orang di depannya. "Kau yang tiba-tiba berhenti, makanya sampai ku tabrak!" Nalara bersungut-sungut. Menggerutu sambil berjalan mendahului Gharta. Persetan dengan sifat takutnya tadi! Lelaki itu benar-benar menyebalkan!

Gharta menaikkan sebelah alisnya. Dan kembali berjalan mengikuti Nalara. Sejujurnya, akan mencurigakan jika dia langsung menuju rumah gadis itu, apalagi ini pertemuan kedua mereka, bagi Nalara. Bahaya jika dia tahu bahwa Gharta mengetahui rumahnya. Maka dari itu, Gharta berhenti sejenak, membiarkan Nalara mendahuluinya. Tapi insiden tabrakan tadi, yang juga kontak fisik pertama mereka murni karena ketidaksengajaan.

Keduanya berjalan dengan senyap, tanpa obrolan. Hanya langkah kaki keduanya yang terdengar, beberapa suara kendaraan sayup-sayup dari jalan raya. Tanpa sadar kedua sudut bibir Gharta naik, melihat pemandangan punggung kecil di depan sana.

Entah dia tahu atau tidak, gerak geriknya di awasi langsung oleh Friz yang kini terdiam kaku. Ia yakin, rencana mereka tidak akan berjalan mulus lagi ke depannya. Tak ayal, ia juga sebenarnya sudah lelah dengan semua ini. Tuan Gharta dan rencananya, membuat Friz bimbang. Ingin menegur, dia hanya bawahan. Jika di lanjutkan, hasilnya akan membawa masalah besar bagi Nalara, dan Gharta sendiri.

***

Seorang pria berbaju kasual mendorong kopernya keluar bandara, menempelkan telepon genggamnya ke telinga sambil celingukan ke arah parkiran bandara. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya kini. Sosok pria berjas hitam turun dan langsung menghampirinya.

"Selamat datang di Indonesia, tuan muda. Mari saya bawakan koper anda ke mobil."

Lelaki itu mengangguk singkat, menyerahkan koper agak besar dan berjalan menuju mobil. Senyum kecil terpatri di bibirnya. Pemandangan indonesia dan udara panas di siang hari yang masih sama, menghantarkan perasaan nostalgia dari enam tahun lalu.

"Bagaimana kabar kakak?" Tanyanya. Pria berjas itu melirik sedikit ke arah lelaki yang duduk di belakangnya itu, "Kabarnya baik sekarang tuan sedang beristirahat di mansion, tuan muda.

"Kakak tidak bekerja? Bukannya kakakku itu seorang workaholic?"

"Tuan berkata akan menunggu tuan muda di mansion. Katanya, ada urusan penting daripada pekerjaan dengan tuan muda."

Helaan nafas panjang terdengar dari arah belakangnya, adik dari tuannya itu tampak sedikit gusar.

"Ya ... Nampaknya kakak sudah tahu ya? Ya sudah lah. Tidak ada alasan lagi untuk menyembunyikan kejadian enam tahun lalu. Cepat atau lambat, kakak juga akan tahu."

"Bukankah begitu ... Friz?"

Friz hanya diam.

Sejauh yang Friz kenal, sosok Arghani adalah seorang bocah yang selalu tak mau diam. Mengenal anak lelaki yang berbeda dua tahun darinya itu adalah hal yang sebenarnya Friz syukuri. Keceriaan Dhani cukup memberikan warna selain warna hitam di hidupnya sejak menjadi bawahan dari Gharta.

Gharta pun tidak pernah benar-benar tidak suka dengan kehadiran Ghani, meski anak itu sering menganggu ketenangannya dengan hal-hal random yang tak pernah habis Ghani bahas. Kepribadian mereka yang berbeda tak membuat keduanya menjadi canggung, bagi Ghani. Entahlah bagaimana hubungan mereka di mata Gharta.

Enam tahun tak bertemu dengan Ghani, Friz nyaris tidak mengenalnya dengan penampilan anak itu yang sangat berbeda dari enam tahun lalu. Pubertas benar-benar merubah wajah dan badan Ghani. Badan yang dulunya kurus dan pendek, kini berubah menjadi lebih gagah dengan suara yang lebih berat.

Tapi, sejatinya Ghani tidak pernah menjadi 'anak kecil' sejak dulu. Dia di lahirkan dengan otak yang cerdas, seperti tuan Gharta. Ghani sudah tahu menahu tentang kejadian enam tahun lalu, kejadian kelam dimana semua ini bermula.

Juga, kenyataan bahwa bocah itu adalah kunci dari rencana Gharta, membuat Friz mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa sosok ini adalah saksi penting. Saksi hidup dari kecelakaan maut di kota Makassar, tragedi yang menjadi trauma Gharta, dan Nalara.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang