Jaghana | 15

9 1 0
                                    

Jaghana: bagian yang paling dalam

—}{—

Nalara terdiam di pelukannya. Menyandarkan dirinya sepenuhnya dengan tenang menikmati sapuan tangan Gharta di kepala. Gharta pun menikmati aroma wangi dari helai rambut di bawah dagunya itu. Merasakan bahwa gadis ini tidak memberontak membuatnya senang. Nalara tidak menghindarinya, itu sudah cukup.

"Gue mau tidur ... " Gumam Nalara. Dengan jarak sedekat itu, Gharta dapat mendengarnya dengan jelas.

"Tidur."

Dengan berat hati, pelukan itu di lepas Gharta. Memilih merebahkan tubuh Nalara di tempat tidur dan menyelimutinya dengan lembut. Mata gadis itu sudah terpejam. Nafasnya juga kian teratur menandakan bahwa ia sudah terlelap. Gharta tak pergi dari posisinya. Ia duduk di samping ranjang menatap diam kearah wajah damai Nalara. Cukup lama bertahan di posisi itu, sebelum akhirnya ia beranjak mendekati jendela yang menampilkan suasana malam perkotaan.

Semakin jauh matanya memandang semakin semrawut pikirannya. Gharta merogoh sesuatu di saku celana, sebuah sobekan kertas yang merupakan pemberian Ghani di pertemuan terakhir mereka. Kertas itu berisi alamat yang sudah Gharta datangi tadi malam. Sebuah alamat yang membawanya bertemu dengan seseorang yang ia benci segenap hati.

Sang tuan besar keluarga Lezander. Herman Julio Lezander, sosok lelaki paruh baya yang tak berubah sejak dulu. Ia tetap menjadi sosok yang ambisius dengan tatapan merendahkan di matanya. Sosok yang menjadi alasan mengapa ia harus meninggalkan ibunya di Australia untuk menetap di Indonesia. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak bertemu dengannya, setelah hari dimana Gharta pergi meninggalkan Australia sejak berumur 10 tahun, ia tidak pernah bertemu dengan lelaki itu lagi.

Si keparat yang sialnya adalah ayah kandungnya sendiri.

Gharta meremas kuat kertas di tangannya. Mengingat setiap kata demi kata yang di lontarkan lelaki itu, membuat isi kepala Gharta seolah  mendidih. Cerita lama yang baru saja ia tahu, membuat amarahnya meledak. Baik kepada Herman, juga kepada Ghani yang menyembunyikan fakta itu dari lama.

Sial!

Gharta mengusap wajahnya dengan kasar. Kenapa mereka menyembunyikan hal sepenting ini darinya. Membuatnya terjebak dengan ilusi dan pikirannya sendiri selama enam tahun ini. Ia dengan percayanya, menyalahkan orang tua Nalara atas pengeboman itu, tanpa tahu bahwa ternyata mereka sebenarnya hanya berkorban. Lebih tepatnya, di korbankan atas ambisi kotor Tuan Besar Lezander!

Sial! Dia salah menerka.

"Herman sialan itu benar-benar membuatku muak!"

Di bandingkan kebenciannya atas perlakuan Herman, Gharta lebih membenci bahwa ia terlahir sebagai anak dari bajingan itu.

***

Kedua pemuda tampan yang duduk berhadapan di sebuah meja cafe, nampak mengundang banyak perhatian. Visual keduanya yang memang tampan berhasil memancing pandangan dari seluruh pengunjung perempuan di tempat itu. Keduanya tampak cuek, mereka hanya fokus dengan kegiatan masing-masing.

"What the f*ck! Lo ngajakin gue ketemuan di cafe?! Woi anjing! Gue mau bicara serius! Gimana bisa gue bisa bicara hal sepenting itu di sini bego!" Cowok dengan hoodie hitam dan jins robek-robek di lututnya itu bicara dengan emosi.

"Lo kok jadi emosian banget? Lama gak ketemu bukannya pelukan malah marah-marah, ngatain gue lagi." Sahut pemuda di depannya. Cowok berkaos hitam dengan celana abu-abu itu menyendok eksrimnya dengan santai.

"Pelukan ndasmu! Sana pelukan aja sama monyet! Ogah banget gue pelukan sama elu!"

"Lah, lo kan monyetnya, gimana sih!"

"Gue gebuk juga lo, anjing! Serius ini!"

Cowok berkaos hitam itu terkekeh. Membuat gigi gingsul cowok itu muncul di susul pekikan di sekitar. Jelas saja, penampakan cengiran manis dari cowok tampan itu membuat sebagian besar hati perempuan di sekitar mereka seperti tersengat. Iya, tersengat ketampanan yang haqiqi.

"Denger kan! Tempat berisik begini mana cocok buat bincang-bincang bego! You kok tambah dumb sih!"

"Cocokin aja Ta, lo kok ribet banget."

"Gue beneran bakal lempar lo kursi nih lama-lama! Bikin emosi aja si lo, Ghani!"

Ghani menikmati tiap ekspresi marah temannya. Lama tak bertemu, dengan hanya berinteraksi di telepon membuat Ghani cukup merindukan teman sialannya itu. Siapa lagi kalau bukan Artayasa Nugraha. Pengawas berkedok teman Nalara.

"Santai aja napa. Lo kayak cewek PMS aja. Selow aja sih!"

Arta menatap sangsi Ghani yang masih santai memakan eskrim. Entah dia harus mengakui bahwa cowok menyebalkan ini adalah temannya atau bukan. Arta rasanya ingin membuang Ghani ke hutan amazon jika begini. Kalau perlu ia akan sujud syukur jika laki-laki itu di makan singa atau di telan buaya saking capeknya Arta meladeni Ghani.

"Terserah. Gue capek sama lo! Sekarang pindah topik!"

Ghani melirik Arta yang mulai serius, ia juga mulai berhenti memakan eskrim-nya yang masih sisa setengah, memilih menatap Arta tanpa menghilangkan senyum jenaka di bibir.

"Gue tanya dulu, Nalara baik-baik aja kan? Abang lo gak apa-apain dia kan?"

"Enggak–" Wajak kaku Arta mulai melunak.

"–tau. Gue gak tahu keadaannya gimana. Abang gue ngelarang buat ketemu Nalara."

"Anjing! Gimana sih! Gue kira lo tau!" Arta kembali emosi.

"Gue mana tau. Gue perduli bukan berarti gue bisa bebasin dia dari abang gue. Tapi lo tenang aja. Gue yakin, Nalara bakal baik-baik aja."

"Lo tau darimana Nala bakal baik-baik aja, hah?! Abang lo itu udah mirip titisan setan campur singa kesurupan! Ganas banget dah!"

Dalam hati, Ghani membenarkan.

"Pokoknya lo gak usah khawatir masalah Nala. Abang gue kelihatannya udah punya perasaan kayak manusia! Gak kayak dulu sifat setan semua. Jadi lo tenang aja."

"Maksudnya?"

"Dahlah. Lo bakal tahu nanti. Pokoknya sekarang tugas kita cuman ngurus keluarga jahannam aja! Soalnya mereka emang udah mirip setan, jadi harus di kirim ke neraka."

Arta mengiyakan. Kedua pemuda itu akhirnya berdiskusi dengan serius, ditemani tatapan memuja dari sekeliling cafe. Sesekali Ghani masih mematik kesabaran Arta yang sudah setipis benang dengan kejahilannya. Yang Arta lakukan, hanya menendang betis Ghani dengan kuat. Namun karena fisik Lezander yang memang tak perlu di ragukan kuatnya, agaknya bagi Ghani, tendangan Arta hanya seperti sentilan saja.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang