Eonoia | 08

8 2 0
                                    

Eonoia: Pemikiran yang indah dan baik.

—{}—

(Hari dimana kejadian itu berlangsung)

Nalara berjalan santai dengan menggandeng tangan Gentala yang masih sibuk dengan eskrim-nya. Di sore hari yang cukup mendung ini, mereka berjalan-jalan di taman dekat perumahan. Berhubung sebagai hadiah yang Gentala minta pada kakaknya. Berjalan berdua di sore hari, di taman dekat perumahan.

"Tala mau jajan apa? Nanti kakak beliin."

Gentala mendongak dengan tersenyum lebar ke arahnya, "Betulan kak?" Nalara tertawa kemudian mengangguk mengiyakan.

"Wahh asik. Aku mau ... itu!" Tunjuk Gentala ke arah penjual telur gulung yang berada di seberang jalan.

"Ya sudah, kakak ke sana dulu. Kamu diam disini, jangan kemana-mana. Tunggu kakak."

Gentala mengiyakan. Berdiri di samping tiang lampu taman yang sudah menyala di pinggir trotoar. Tanpa melepaskan pandangan ke Nalara. Anak itu tidak pernah memudarkan senyumnya. Entah kenapa, dia merasa sangat senang, juga merasakan perasaan aneh yang membuatnya ingin selalu menatap sang kakak. Seolah dia tidak akan melihat kakaknya dalam waktu yang lama.

Tuhan, buat kakak bahagia.

Nalara menoleh ke tempat adiknya, tersenyum lebar saat matanya bersinggungan dengan netra cerah milik Gentala. Ketika pesanannya selesai, gadis itu menyodorkan uang kemudian berbalik ke arah Gentala.

Hari itu, entah kenapa, mendung semakin gelap tapi hujan tidak turun untuk waktu yang lama. Suasana dingin semakin terasa selama sekian menit.

Tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan cepat, di akhiri suara benturan yang keras. Suara itu terdengar dari arah depan, di susul ramai pekikan di sekitar.

Langkah kaki Nalara yang tadinya pelan, kini terhenti. Mata coklat terang miliknya bergetar, menyorot kosong pemandangan di depan. Jantungnya seolah berpindah dari tempatnya. Gadis itu mendadak tuli, segala kericuhan dan hiruk-pikuk di sekitarnya menambah kekacauan hati Nalara.

Lama berdiam, Nalara mendapatkan kewarasannya kembali. Ia berlari dengan cepat kearah tubuh yang kini tergeletak bersimbah darah. Cairan merah pekat itu seolah akan menenggelamkan tubuh kecil adiknya.

Gentala, tertabrak saat anak itu ingin menghampirinya.

Nalara tidak tahu berbuat apa, dia panik. Kepalanya mendadak kosong, bahkan untuk mendekati tubuh adiknya saja, Nalara tidak kuat. Darah terus mengucur dari kepala Genta, bahkan dia bisa melihat tangan dan kaki kecil itu patah. Nalara terduduk, ia bahkan tidak menyadari wajahnya sudah basah oleh air mata. Jantungnya bertalu-talu dengan kencang.

Sedetik kemudian, gadis itu seolah kehilangan kewarasannya. Dia meraung, dan meneriaki orang-orang di sekitarnya untuk segera menelepon ambulan untuk menyelamatkan adiknya. Betapa kuat keinginan Nalara untuk membawa Gentala kedalam pelukannya, namun dia takut jika adiknya akan semakin kesakitan jika dia sentuh sedikit saja.

Nalara tergugu-gugu dalam kepanikannya, dia bisa melihat jemari kecil Gentala bergerak kecil, meski anak itu sudah menutup matanya, sebelah wajahnya sudah di penuhi darah. Seolah nyawa anak itu sudah di ujung jemari.

Nalara tidak mampu bertahan. Gadis itu ambruk di samping Gentala. Kericuhan di sekitar mereka semakin terdengar.

***

Aroma obat-obatan memenuhi penciuman, juga suara-suara ramai yang terdengar di luar ruangan. Kelopak mata itu bergetar, kemudian terbuka pelan. Pikirannya kosong, dia masih mencoba mengatur ingatannya.

Beberapa saat berdiam, Nalara membelalakkan matanya, dengan gerakan cepat bangkit hingga infus di tangannya tertarik dan sedikit mengeluarkan darah. Gentala! Dia harus bertemu Gentala!

"NALA! Tenang!"

Tante Dian yang baru saja tiba, dengan cepat memeluk kuat gadis itu. Mencoba menghentikan pergerakan Nalara yang kesetanan. Dia memberontak, beberapa perawat yang lewat turut serta menahan Nalara.

"Tenang, Nala! Jangan seperti ini! Tenang dulu!"

"Gentala! Gentala dimana?! Aku mau ketemu Gentalaa!" Air matanya mengucur deras, Tante Dian pertama kali melihat Nalara se-kacau ini. Wanita itu memegang wajah Nalara, memaksa gadis itu untuk menatap matanya. Nalara sedang tidak baik-baik saja. Kondisi mental gadis itu pasti terguncang saat ini.

"Iya, kita ke adikmu. Tapi kamu harus tenang dulu. Jangan seperti ini ya?" Nalara mengangguk dengan tubuh yang gemetar, terisak dengan kencang.

Seorang perawat memperbaiki infus di tangan Nalara saat tante Dian sibuk menenangkan gadis itu.

Setelah infusnya di perbaiki, Nalara dengan pelan bangkit berdiri, memegang lengan wanita paruh baya yang kini tersenyum lemah. Tante Dian mengusap punggungnya, mengudarakan gumaman lembut untuk menenangkan jiwa Nalara yang masih teramat kacau. Bahkan pakaiannya masih berlumur darah.

"Kuat jalan, sayang? Pakai kursi roda saja ya?"

Nalara menggeleng pelan. Dia ingin cepat bertemu Gentala, memastikan bahwa adiknya baik-baik saja. Setidaknya, dia memohon Gentala tidak ikut meninggalkannya.

Om Iyo duduk dengan resah di depan ruangan UGD yang tengah di gunakan untuk menangani Gentala. Lelaki itu masih belum bisa berpikir jernih. Dari sejak ia menerima telepon dari pihak tetangga yang mengabarkan bahwa Gentala kecelakaan serta Nalara yang pingsan, sampai sekarang dia belum bisa mengatur pikirannya. Kepanikan masih membuatnya terguncang.

Selama ini, dia dan istrinya sudah menganggap Nalara dan Gentala sebagai anak mereka. Menerima kabar buruk yang menimpa keduanya, jelas membuatnya gemetar. Segala kemungkinan buruk membuat pikirannya tak tenang.

"Mas!"

Suara istrinya menyentak Om Iyo. Lelaki paruh baya itu langsung bangkit, mendekap tubuh gemetar Nalara ke pelukannya, mengusap rambut belakang gadis itu. Om Iyo meneteskan air mata mendengar suara tangisan Nalara yang terendam di pelukannya itu. Tante Dian ikut menangis lirih.

"Om, Gentala gimana? Dia baik-baik saja kan om?" Nalara menatap nanar ke arah om Iyo.

"Gentala masih di periksa, Nala. Kamu yang sabar ya? Gentala pasti baik-baik aja. Gentala gak akan kemana-mana." Om Iyo tersenyum, mencoba meyakinkan gadis itu meski hatinya pun juga meradang. Ia ikut meyakinkan dirinya.

Nalara mengiyakan.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Retak Yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang