Prolog

14K 454 67
                                    

“Abi, Ummi, Ilyas berkeinginan untuk menikah,” ucap Ilyas kepada orang tuanya yang sedang berkumpul di ruang keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Abi, Ummi, Ilyas berkeinginan untuk menikah,” ucap Ilyas kepada orang tuanya yang sedang berkumpul di ruang keluarga.

Mereka sedang berkumpul keluarga di akhir pekan setelah Isya. Aktvitas yang berusaha keluarga pesantren sempatkan ditengah kesibukan mengurus kegiatan pondok.

“Alhamdulilllah, Nak. Siapa perempuan yang beruntung itu?” Ummi Farhah yang begitu antusias mendengar ucapan putra bungsunya.

Usia Ilyas yang sudah dua puluh enam tahun memang sangat layak untuk menikah. Terlebih lagi, budaya di keluarga Pesantren al-Insan seperti mengakar. Lelaki usia dua puluh hingga dua-dua tahun sudah waktunya berumah tangga.

Sejak lima tahun lalu, Marwan dan Farhah telah menawarkan kalangan Ning kepada sang putra. Barangkali dari perempuan yang menjadi pilihan orang tuanya itu ada yang mampu memikat hati Ilyas dan memunculkan keinginan lelaki itu untuk menikah.
Penolakan halus selalu saja Ilyas lontarkan. Ia belum ada keinginan untuk menikah. Masih perlu belajar untuk mengurus pesantren sehingga belum bisa membagi fokus dan waktu jika dia menikah.

Status Ilyas yang masih sendiri disertai belum ada keinginan untuk segera menikah membuat Marwan maupun Farhah beberapa kali dalam kondisi sulit. Sebagai orang tua Ilyas, mereka seringkali malu dan sungkan jika ada kalangan keluarga Pesantren lain menawarkan berbesan. Menikahkan putri mereka dengan Ilyas.

Hari ini mendengar permintaan Ilyas, Marwan dan Farhah merasa mendapat durian runtuh. Kedua orang tua Ilyas itu tentunya akan bebas dari perasaan kurang nyaman apabila sahabat sesama pemimpin pesantren atau ulama mengajak menjodohkan anak-anak mereka.

“Ustazah Ayana,” jawab Ilyas begitu mantap mengatakannya.

Nyai Farhah tersenyum. Perempuan yang usianya sudah kepala enam itu berpindah duduk ke samping sang putra. Ia menggenggam kedua tangan Ilyas dan menyuguhkan senyum yang menularkan keyakinan pada Ilyas. “Umi restui pilihanmu, Nak. Selama Ayana ada di pondok dia menunjukkan peringainya yang baik. Insyaallah dia bisa menjadi pendampingmu yang baik.”

Respon yang berbeda dengan istrinya. Kyai Marwan masih bergeming di tempat mendengar yang putranya sampaikan. Dia tidak pernah menyangka bahwa pilihan putranya jatuh pada wanita yang menurutnya biasa saja untuk berada dalam kalangan keluarga ulama sepertinya.

“Kamu yakin dengan Ustazah Ayana, Nak?” konfirmai Kyai Marwan yang menatap instens putranya.

Ilyas yang sempat beradu pandang dengan abinya kemudian menunduk kembali. Ia merasa bahwa pilihannya kali ini bersebrangan dengan Kyai Marwan. Hal yang sudah sangat Ilyas prediksi, sayangnya siapa yang bakal mengira hatinya akan condong dan berlabuh pada perempuan seperti Ayana.

Ilyas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan abinya.

“Kamu seorang Gus dan pesantren ini nantinya kamu yang akan mengurusnya. Apa kamu tahu konsekuensinya menjadikan Ayana sebagai istrimu di lingkungan Pesantren al-Insan?”

“Abi ... Empat tahun Ayana mondok di sini dan dua tahun ia telah mengabdi mengajar di sini, kita mengenalnya sebagai perempuan yang baik, kan?” jawab Ilyas yang memberikan alasannya untuk menikahi Ayana.

Marwan mengangguk menyetujui. “Ayana adalah perempuan yang baik. Hanya saja ... Yah, kamu tahu maksud Abi, Nak. Jika dia wanita yang hatimu inginkan dan demi binar Ummimu tetap terpancar, Abi akan meminangkannya untukmu.”

Setelah mengatakan itu, Kyai Marwan bangkit dari duduknya dan memasuki kamar.

Pandangan Ilyas menjadi nanar. Ia sedang mengalami perang batin akibat sikap yang Marwan tunjukkan. Jika dirinya meneruskan niat menjadikan Ayana bidadari dunianya akankah ia mendapatkan restu abinya?

“Jangan khawatir apapun putraku, Ummi yakin pilihanmu tepat. Restu dan doa Ummi akan menembus langit. Hilangkan gundah, mantaplah dengan ucapanmu barusan. Insyaallah, jika Ayana pemilik tulang rusukmu, kalian akan berumah tangga dengan limpahan Rahmat-Nya.”

Seketika Ilyas merasa tubuhnya bergetar. Ia pun berpindah duduk ke ubin tepat di bawah sofa umminya duduk. Mengambil tangan Farhah dan menciumnya penuh takzim. “Terima kasih, Ummi.”

Jum'at, 8 Juli 2022

Jangan lupa vote dan komentar jika menyukai cerita ini

Dan mari berteman denganku di sosial mediaku

Dan mari berteman denganku di sosial mediaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ayana's MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang