Jadwal berkunjung ke perpustakaan memang dibatasi oleh jam untuk kunjungan yang dilakukan oleh santri-santriwati. Mereka bisa mengunjungi perpustakaan dua hari sekali secara berseling. Hal ini karena sehari jadwal untuk santri dan esoknya santriwati. Begitu seterusnya.
Aturan tersebut tidak berlaku untuk staf, pengajar dan juga keluarga pondok yang ingin mengunjungi perpustakaan dan membutuhkan buku. Seperti Hal Ilyas yang kali ini berada di perpustakaan saat jadwal perpus tersebut dikunjungi oleh kalangan santriwati.
"Assalamualaikum, Ustazah Ayana," sapa Ilyas ketika melihat Ayana fokus menekuni sebuah buku.
Ayana mendangak untuk melihat siapa yang berucap itu. Matanya terpaku saat bersitatap dengan Ilyas. Saat ia sadar bahwa itu tidak seharusnya, Ayana langsung mengalihkan pandangan secara sembarang.
"Waalaikumsalam." Ayana memfokuskan diri ke bukunya kembali. Distraksi akan keberadaan Ilyas berusaha ia abaikan.
Lain halnya dengan Ilyas, Gus muda tersebut justru duduk tepat berseberangan dengan Ayana. "Sedang membaca apa?"
Ayana memberlihatkan sampul depan buku yang dibacanya. "Istri-istri Rasulullah."
"Gus Ilyas, ada keperluan apa?" Basa-basi Ayana untuk menanggapi pertanyaan Ilyas. Dia ingin menghargai keberadaan Ilyas yang menjalin komunikasi dengan Ayana.
"Ke perpustakaan ya cari buku," jawab Ilyas sambil menyungging senyum.
Ekspresi Ayana menjadi kaku. Ustazah sejarah Islam tersebut menilai bahwa jawaban Ilyas sejenis sarkas, bukan sebuah guyonan Ilyas yang ingin mengintimkan interaksi. "Maaf, pertanyaan saya retorik." Ayana kembali menekuri bukunya.
Hatinya yang berdebar jika di dekat Ilyas dan ia tahu bahwa itu tidak baik bagi kesehatan jantung dan keimanannya membuat Ayana segera membereskan buku dan perlengkapan alat tulis yang dibawanya.
"Sudah mau pergi Ustazah?"
Dengan begitu canggung dan berusaha menarik sudut bibir Ayana mengangguk.
"Sekiranya kapan kita bisa berbicara tentang perkembangan persiapan kedatangan penyenggara lomba, Ustazah?"
"Kapan Gus Ilyas bisa, kami menyesuaikan. Nanti saya akan koordinasikan dengan tim untuk rapat bersama Gus Ilyas terkait perkembangan."
Senyum getir menghias wajah Ilyas menatap kepergian Ayana. Dalam hati ia bertanya-tanya, Kenapa pengajar sejarah tersebut seakan menjaga jarak serta sikap bahkan enggan memandangnya?
Tidak ingin terus-terusan berspekulasi tentang Ayana, Ilyas akhirnya berjalan ke deretan rak buku. Series tafsir Al-Misbah dia butuhkan sebagai referensi mengajarnya.
Dua jam lebih Ilyas habiskan untuk mendalami materi dan mengkonsep bahan kepengajaran, alarm ponselnya berdering mengingatkan bahwa dia ada janji mengantar Ummi Farhah berbelanja.
Sekembali dari perpustakaan Ilyas segera menunaikan salat Zuhur kemudian bersiap-siap. Mematut diri di depan cermin, Ilyas hanya menggunakan setelan kaos berkerah yang dipadu dengan celana cargo. Dengan tampilan kasual tersebut Ilyas terlihat mempesona dan lebih muda.
Ketukan pintu dan tidak berselang diikuti suara Nyai Farhah memanggil nama Ilyas. "Iya, Ummi. Sebentar lagi Ilyas keluar."
"Cepetan Nak, Ayana sudah datang. Jangan buat dia terlalu lama menunggu," kata Nyai Farhah masih dari balik pintu.
Ilyas pun segera mengambil kunci dan dompet miliknya sebelum membuka pintu kamar. Di sana Nyai Farhah masih menunggu si bungsu untuk ke ruang tamu bersama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayana's Marriage
EspiritualAyana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar pondok. Yang Ayana tahu, suaminya akan memperkenalkan diri sekaligus menjemputnya saat project p...