Pagi ini Ayana berada di minimarket pesantren. Dia sedang tidak ada jadwal mengajar di hari tersebut. Oleh karena itu, daripada berada di ruang kerjanya bersama pengajar yang lain, Ayana lebih senang untuk menemani sahabatnya menjaga unit usaha milik pesantren. Sekalian juga, Ayana mengerjakan proposal yang bisa ia jadikan sebagai proyek pesantren agar memberikan manfaat lebih luas lagi. Tidak sekadar dakwah dan pendidikan saja.Dua hari lalu Ayana melihat sebuah unggahan di Instagram tentang sebuah lomba perencanaan bisnis yang bagi pemenangnya akan mendapatkan suntikan modal dan pendampingan. Dengan mengumpulkan keberanian dan mengasah kembali kegiatannya saat kuliah, Ayana berniat untuk mencobanya.
"Assalamualaikum," ucap seorang perempuan di belakang lelaki yang membuka pintu minimarket.
Untuk perempuan yang mengucap salam, Ayana sangat kenal sekali. Dia Ning Zahira. Putri dari sahabat Kyai Marwan yang mengajar di al-Insan sejak tiga tahun lalu. Waktu itu status Ayana masih sebagai santri, bukan Ustazah seperti sekarang.
Ayana masih mengenali paras lelaki yang membuka pintu dan sekali lagi ia terpaku. Meski yang kali ini hanya sebentar karena Ayana segera menundukkan pandangan.
"Waalaikumsalam, Ning Zahira," jawab Ayana yang memfokuskan netranya pada Zahira. Ia tidak mungkin berperilaku tidak sopan dengan terang-terangan memandang putra Kyai. Oleh karena itu Ayana memilih untuk memandang putri dari sahabat Kyai Marwan yang mengajar di Pesantren al-Insan.
"Mbak Fiza kemana, Na?" tanya Zahira setelah matanya berpendar tetapi tidak menemukan staf pondok yang bertugas menjaga minimarket pesantren.
"Fiza lagi pergi ke warung bakso depan pesantren, Ning. Kalau mau beli sesuatu, tidak apa-apa saya yang bantu jadi kasir, tapi kalau keperluan yang lain bisa ditunggu. Sebentar lagi, Fiza juga kembali."
"Nunggu Mbak Fiza aja. Kamu sedang menyiapkan bahan mengajar, Na?" tanya Zahira saat melihat laptop dan peralatan menulis.
Ayana tidak menjawab, dia hanya tersenyum atas pertanyaan dari Ning Zahira.
Yang tidak kedua wanita itu sadari bahwa interaksi mereka diamati oleh satu-satunya lelaki di bangunan tersebut. Ismail El Ilyas sedang bertanya-tanya akan sosok yang menjasi lawan bicara Zahira. Apakah dia seorang pengajar di Pesantren? Jika iya, kenapa Zahira hanya memanggil nama tanpa panggilan Ustazah?
Belum sempat Ilyas menginterupsi untuk bertanya akan sosok Ayana, seorang perempuan yang membawa makanan berbungkus transparan membuka pintu minimarket.
"Ada yang beli, Na?" Suara perempuan yang masuk. Ilyas masih mengingat perempuan tersebut adalah wanita yang memanggilnya kemudian pergi ketika di halaman masjid selepas ia mengisi acara kajian mingguan. Ilyas mempunyai kesimpulan bahwa penjaga minimarket pesantren dengan perempuan yang Zahira ajak bicara sebelumnya mempunyai hubungan baik. Mungkin mereka berteman.
Sedangkan perempuan yang baru masuk itu sudah tentu Fiza. Dia yang sebelumnya bertanya apakah ada pembeli, kemudian bergeming sebentar sebelum menguasai dirinya kembali. Adanya putra Kyai dan juga Zahira, besar kemungkinannya bahwa mereka tidak membeli sesuatu melainkan memeriksa dan bertanya-tanya tentang kondisi minimarket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayana's Marriage
EspiritualAyana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar pondok. Yang Ayana tahu, suaminya akan memperkenalkan diri sekaligus menjemputnya saat project p...