18. Resepsi

4.6K 204 6
                                    

Baca cerita ini sampai akhir yaaa. Ada kejutan di akhir yaaaa 🤗🤗

___Selamat Membaca___


“Ini prank ‘kan, Na?” tanya Fiza dengan intonasi nyolotnya. Sahabat Ayana itu yang awalnya sedang duduk di kasurnya langsung berdiri ketika menerima undangan digital yang di dalamnya tertulis nama Ayana dan juga Gus Ilyas.

“Kamu tahu aku paling enggak suka sesuatu berhubungan dengan prank, itu kebohongan,” sungut Ayana yang mulai jengah dengan ketidakpercayaan Fiza. Sesuatu yang membuat Ayana bertanya perihal kepantasannya bersanding dengan Ilyas.

Di saat Fiza masih mengulir undangan tersebut untuk memastikan bahwa Ayana memang tidak sedang menyampaikan cerita bohong. Fiza tahu bahwa beberapa kali Ia dan Ayana pernah menjadikan topik Ilyas sebagai bahan gibah, belum lagi acara besok di Aula memang dikatakan sebagai acara resepsi pernikahan Gus Ilyas untuk memperkenalkan istrinya.

Sayangnya, hanya segelintir orang di pengurus dan pengajar yang diperkenankan hadir. Acara tersesbut dikhususkan untuk orang-orang di luar pesantren. Tetapi tentang sosok mempelai yang masih di rahasiakan untuk orang-orang tidak mendapat undangan seperti Fiza. Tentunya hal tersebut membuatnya seantero Al-Insan diliputi penasaran, termasuk Fiza. Sahabat Ayana itu berpikir bahwa sosok yang sudah sekamar dengannya sejak SMA itu mengerjainya dengan memanfaatkan rasa ingin tahu Fiza.

Fiza mengakui sejak beberapa vendor berdatangan untuk mendekorasi Aula di siang hari untuk acara yang akan diselenggarakan besok, berulang kali ia merecoki Ayana tentang pertanyaan siapa dan seperti apa sosok istri putra bungsu Kyai Marwan. Oleh karenanya Fiza berpikir bahwa sang sahabat sedang membuat lelucon garing tentang Ayana yang menjadi Nyonya Ilyas .
Ayana yang dengan karakternya yang pendiam dan semakin tidak banyak bicara ketika dia tahu bahwa lelaki yang menikahinya adalah Ilyas karena sibuk menerka bagaimana jika seluruh warga pesantren tahu dirinya yang dipilih oleh gus muda itu menjadi istri. Melihat beberapa kali respon Fiza yang seakan mengatakan bahwa dirinya tidak pantas dengan Ilyas tentu saja membuat Ayana menjadi parno.

Dering ponsel Ayana memecah keheningan yang terjadi akibat kedua perempuan yang bersahabat itu sibuk dengan isi pikiran masing-masing. “Assalamualaikum Kak Fakhri,” salam Ayana seteleh menggeser tombol hijau.

“Waalaikumsalam, Na. Ini Kak Nila.“
“Eh, Kak Nila. Maaf, Ayana kira tadi Kak Fakhri.”
“Ini Kak Nila sama Mas Fakhri sudah sampai di pondok, di sambut baik sama Gus Baiq sama istrinya. Sekarang kami ada di dalem. Kamu menyusul kemari, ya!”
“Hah, sudah dijamu Gus Baiq dan Ning Yumna? Sekarang lagi di dalem? Iya, Kak. Habis ini Ayana langsung menyusul ke sana.”

Fiza yang sedari mendengarkan panggilan telepon Ayana dengan kakak iparnya membuat Fiza mebelokkan matanya. Dia benar-benar belum bisa menerima fakta undangan terbatas yang Ayana bagikan kepadanya adalah kebenaran informasi tentang sahabatnya yang sebentar lagi menjadi bagian keluarga dalem Pesantren Al-Insan.

Wa“Jadi bener, besok itu acara resepsi kamu dengan Gus Ilyas?”

Ayana menggangguk sebentar kemudian memeluk Fiza. “Terima kasih ya, sudah menjadi sahabatku. Tetapi aku harus ke dalem sekarang, menemuni keluargaku.”

"Kenapa kamu tidak pernah cerita apa-apa tentang ini?!” tanya Fiza dengan intonasi nge-gas.

“Aku bakal cerita setelah resepsi, besok. Jangan lupa kamu harus hadir, Fiza!”

Ayana pun segera mengucap salam sebelum dia mendapat omelan dan pertanyaan yang bertubi-tubi dari Fiza. Belum lagi, dia juga perlu tahu bagaimana kondisi dalem dan interasksi Fakhri dan Nila dengan keluarga Ilyas.

Sampai di dalem Kyai Marwan, di sana sudah disibukkan dengan lalu lalang panitia dan juga WO yang jasanya digunakan untuk mengurus resepsi. Ayana yang sedang melepas alas kakinya di pintu yang menghubungkan teras dengan ruang depan membuatnya mampu mendengar obrolan orang-orang di dalam.

“Yah, begini Ilyas. Mungkin karena anak ragil, ya, kalau sudah punya kemauan itu harus dan enggak mau menunggu. Langsung sat-set semua dilakukan. Saya sebagai saudara cuma bisa dukung, berdoa yang terbaik Mas Fakhri.” Meski belum melihat muka siapa yang berbicara ini, tetapi Ayana mengenali suara ini milik Gus Ibra, saudara tertua Gus Ilyas.

“Assalamualaikum,” salam Ayana ketika bergabung dengan orang-orang yang berada di ruang depan tersebut. Salam tersebut di jawab serentak oleh mereka yang berkumpul dan yang pertama kali Ayana lakukan ialah salim pada Fakhri dan Nila.

“Duduk sini, Na.” Kata Fakhri yang menepuk tempat kosong di sebelahnya. Tempat yang akhirnya membuat Ayana terhimpit antara Fakhri dan Ilyas.

“Kamu tidak menyalimi Gus Ilyas juga, Na?” bisik Fakhri pada adiknya.
“Kak, malu,” balas Ayana yang juga berbisik.

Fakhri merespon dengan gelengan kepala. Sebagai kakak di paham bahwa adiknya yang introvet itu tidak mudah untuk berbaur dengan orang baru. Terkadang ia sebagai kakak harus mendorong adiknya untuk berani tampil diantara banyak orang bukan hanya jago ketika melakukan persuasif pada sebaya.

“Kakak tidak salah pilihkan suami untuk kamu, kan?” goda Fakhri pada adiknya. “Abid, alim, hafiz lagi.”

“Kaaakkk,” protes manja Ayana yang langsung bersembunyi di balik punggung Fakhri. “Jangan iseng,” bisik Ayana lagi pada kakaknya.

Melihat semakin pasif tingkah sang adik, Fakhri tahu bahwa Ayana jika di paksa untuk turut berbaur dengan yang selainnya bisa jadi sebentar lagi akan memilih kabur dan mengurung diri. Ayana  yang sedang merajuk, sangat sulit sekali untuk dibujuk.
Adiknya itu tidak pandai bersosialisasi dan juga show of force pada orang-orang yang disegani. Dia terlalu menggunakan skrip untuk berinteraksi.

Sebagai kakak Fakhri masih merekam dengan baik, bagaimana Ayana bercerita dan menunjukkan persiapan bahan kepengajaran yang tidak hanya kerangka tetapi juga teks kepengajarannya. Berulang dia latih, meskipun di dalam kelas tetap ada improvisasi. Ayana bisa speech formal dan sulit untuk menjalin keakraban. Itu sebabnya, orang yang bisa membuat Ayana berbicara banyak masih segelintir orang. Fiza dan Rayyan itu yang Fakhri kenal, selebihnya Ayana hanya akan menjadi pendengar.

“Gus Ilyas, saya titip adik saya. Dan saya akan memegang janji Gus untuk selalu membimbing adik saya jadi pribadi lebih taqwa. Dan kalau Gus Ilyas sudah tidak sanggup, tolong jangan sakiti perasaan atau fisiknya. Kembalikan Ayana pada saya, biar saya yang akan menjaganya kembali.”

Perkataan Fakhri membuat Ayana mendangakkan kepala untuk menghalang air matanya turun.

Kumpul keluarga itu masih terus berlanjut sampai satu jam kemudian yang dilanjut untuk memantau dan memastikan persiapan untuk acara besok akan berjalan dengan lancar.

Di esok paginya, di dalem sudah sangat rame dengan orang-orang yang akan bersiap-siap di acara. Terlebih para perempuan sudah berkumpul di satu ruang yang sama untuk menggunakan riasan natural sendiri dan berbagi alat make-up. Kecuali, mempelai perempuan yang ada di ruangan terpisah sejak subuh sudah didandani MUA.

Resepsi sederhana antara Ilyas dan Ayana ini hanya mengundang tamu tidak lebih dari 100 orang saja, acara yang sebagai simbolis agar kebersamaan antara Ilyas dan Ayana tidak menjadi fitnah. Sebuah gambaran acara yang sebenarnya tidak terbesit dalam pandangan Kyai Marwan atau Ummi Farhah terkait pernikahan putra bungsu. Resepsi pernikahan penutup untuk anaknya tentu bisa sedikit lebih meriah atau tamu undangan yang lebih banyak mengingat orang tua Ilyas sebagai ulama terpandang. Tetapi, menghargai keputusan yang dibuat Ilyas itu lebih penting bagi pasangan Kyai Marwan maupun Nyai Farhah.
Ilyas juga terkenal gila jika sudah menginginkan atau mengadakan sesuatu, bergerak sat-set adalah ciri khas yang dilekatkan pada lelaki 26 tahun tersebut. Meskipun bukan dongeng Roro Jonggrang yang heroik untuk dibangunkan 1000 candi dalam satu malam, persiapan resepsi yang diadakan oleh Ilyas dan dibantu keluarga pesantren Al Insan juga terkesan sangat mendadak dan dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Kepanitian yang dibentuk untuk acara 4 hari kemudian membuat pengajar, santri dan pembina kegiatan santri yang ditunjuk sebagai panitia tentu sangat terkejut. Ilyas yang turun langsung sebagai pengawas pelaksana juga menekankan pada mereka perihal kerahasiaan informasi acara tidak bocor hingga hari H.

Dia pun menggunakan jasa WO untuk menghandel yang bisa dirinya delegasikan. Seperti mengurus dekorasi, pelaminan, dan catering. Untuk rundown acara sifatnya fifty-fifty karena Ilyas juga memberdayakan unit kegiatan santri sebagai bahan promosi kegiatan pesantren pada tamu undangan.
Di atas pelaminan, Ayana hanya duduk tidak nyaman. Beberapa kali bergerak gelisah dan Ilyas berusaha menyalurkan ketenangan. Sesekali Ilyas mengusap dan menepuk punggung tangan istrinya.

“Angkat kepalamu princess, nanti mahkotamu jatuh,” bisik Ilyas tepat di samping telinga pendampingnya.
Ayana mendongak menatap Ilyas dengan ekspresi sebalnya. Jemari Ayana pun menyelinap di pinggang Ilyas. Cubitan kecil Ayana tinggalkan pada pinggang suaminya.

“Ayana!” pekik kecil Ilyas ketika merasakan cubitan wanita halalnya. Bukannya marah, Ilyas justru tertawa kecil.

Berbeda dengan Ilyas yang terpekik kecil karena cubitannya, Ayana justru terkejut kenapa bisa berani melakukannya. Jika diingat, ini pertama kalinya dirinya duluan yang melakukan kontak fisik.

“Ayo, Ayana. Jangan seperti perempuan yang seperti di paksa menikah,” ucap Ilyas mencoba meredakan gesture kaku dan tegang perempuan di sampingnya.

“Koreksi, Gus. Dipaksa mengadakan resepsi pernikahan.”

“Cuma sekali loh ini dalam seumur hidup. Toh dari tadi banyak orang kayaknya ikut senang dengan adanya acara ini.”

Ayana kemudian menggembuskan napas dan menarik sudut bibirnya agar tersenyum ketika melihat dua sahabatnya yang akan naik ke pelaminan.

Konsep pesta yang diadakan oleh Ilyas memang bukan konsep pernikahan syar’i yang memisahkan tamu perempuan dan juga laki-laki. Para tamu masih berbaur saling silaturahmi mengingat bertemu di acara seperti ini bisa jadi ajang reuni, saling tanya kabar dan berbagi informasi. Tidak perlu ditakutkan berkhalwat atau yang sejenisnya, yang insyaallah semua itu sudah dipertimbangkan oleh Ilyas dan persetujuan abinya, Kyai Marwan.
Aula milik pesantren Al-Insan bisa menampung hingga 800 orang sedangkan tamu undangan maksimal di 200 orang dengan perhitungan 100 tamu undangan datang dengan pasangan mereka. Tentu saja, Aula tersebut memberikan cukup luas dan menghindari gesekan dan sentuhan orang-orang yang bukan muhrim dan hanya akan berinteraksi sewajarnya saja.

“Ayanaaaa,” panggil Fiza dengan ceria ketika jarak hanya semeter dengan Ayana. Dia bahkan melewati Ilyas tanpa permisi dan langsung memeluk sahabatnya yang jadi pengantin tersebut.

Rayyan yang mengekor di belakang hanya menggeleng dengan tingkat Fiza yang menurutnya sangat apa adanya. Dia juga memberikan senyum kepada Ayana. Ketika Fiza di depan Ayana mengomel panjang lebar, Rayyan sekadar basa-basi yang tulus mengucapkan selamat kepada Gus Ilyas.

“Gantian, Mbak Fiza,” pinta Rayyan ketika melihat penjaga minimarket tersebut heboh mengatakan tentang beruntungnya Ayana bisa menikah dengan Ilyas dan belum ada tanda-tanda mau mengakhiri sesi ngerumpi di atas pelaminan. Padahal Ayana sudah mengkodenyanya untuk menghentikan Fiza yang terlalu ceriwis.

Fiza pun bergeser di samping Ayana. Tempatnya sudah digantikan dengan Rayyan yang berada di hadapan Ayana untuk melakukan sesi foto. Tersenyum enggak jelas menggoda Ayana “Oh, ini, alasannya ya, Na?”

“Alasan apa?”  sambar Fiza dengan sifat kepo dosis tinggi.

“Aku kena sinis terus sama lelaki di samping Ayana,” kata Rayyan sambil dagunya digerakkan mengarah ke Ilyas.

“Makasih ya Rayyan udah mau datang.”  Ayana yang tidak ingin Rayyan melanjutkan omelannya tentang Ilyas yang tidak pernah bersikap bersahabatnya langsung mengalihkan topik. Bahaya sekali jika langsung ditanggepin Fiza dan keduanya sahabatnya langsung mengibah Ilyas langsung di depan orangnya.

“Ada makanan gratis kok enggak datang sih.” Rayyan sambil memainkan kedua alisnya.

“Dinikmati hidangannya sampai kenyang,” kata Ayana lagi.

“Sayang banget, Na! Kamu ngasih kabarnya dadakan. Aku enggak bawa paper snack buat bungkus sekalian,” jawaban Rayyan yang jauh dari kata serius.

“Di minimarket ada banyak plastik Yan!” sarkas Ayana dengan nada bercanda pada Rayyan.

“Ide bagus, Na! Aku bungkus semua ya makanan satu meja,” Rayyan dan Fiza langsung  tertawa dengan lawakan receh tersebut dan Ayana tersenyum menggeleng karena tingkah sahabatnya itu.

“Kalau sudah boleh turun biar bergantian dengan yang tamu selainnya,” interupsi Ilyas yang tidak suka karena Rayyan terlalu lama di singgasananya dengan Ayana.

“Yah, Gus, saya kan mau foto dulu,” protes Fiza.

Setelah mendapat protes kelamaan dari Ilyas, Fiza segera berpose di samping Ayana dan Rayyan langsung memposisikan di samping Ilyas. Di foto itu semuanya menampilkan senyum kecuali mempelai pria dengan wajah datarnya.

Tiba di hari H memang tidak semua pengajar yang di undang untuk menghadiri acara. Hanya jajaran pengurus, petinggi pesantren, kerabat dan sahabat terdekat dari Kyai Marwan dan mempelai. Tetapi berita dan informasi siapa yang menjadi istri Ilyas tersebar begitu cepat melalui unggahan tamu yang hadir yang menampilkan foto Ilyas dan Ayana di atas pelaminan.

Misi Ilyas di hari itu sukses untuk mempublikasi Ayana sebagai istrinya dan juga menunjukkn kepemilikan lelaki tersebut pada Rayyan. Kebersamaan lelaki tersebut dengan Ayana yang membuat Ilyas menyegerakan untuk memperkenalkan Ayana sebagai perempuan yang telah dinikahinya.

Jum'at, 1 September 2023

Jum'at, 1 September 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Giveaway

- Follow akun wattpad ri3ski
- Berikan komentar kalian tentang cerita ini
- 2 komentar terpilih mendapat keripik sang cau (bebas ongkir)
- Periode 1 September - 7 September 2023
- Pengumuman pemenang tanggal 8 September 2023

Jadi ... Happy kan, Jum'at depan pasti update



Ayana's MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang