Selamat Idul Adha. Mohon maaf lahir dan batin.
Biar enggak korban perasaan digantungin cerita ini. satu part untuk yang penasaran sama kehidupan Ayana Ilyas setelah menikah. Di sini ada yang pernah berharap punya jodoh seperti Gus Ilyas?
___Selamat Membaca___
"Oalah totebag kemarin itu buat resepsinya Ning Ayana ya," kata Bu Lina saat Ayana sudah kembali ke rutinitasnya. Menjalankan program pemberdayaan masyarakat.
Ayana mendapatkan pesanan totebag, cardholder sekaligus dengan lanyard dengan motif floral berwarna jingga langsung saja mengunjungi rumah jahit. Dia sedang menghitung perkiraan kebutuhan kain serta bahan pelengkap dan menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku.
Ayana sedang meminta komitmen penjahit yang tetap tentang kesanggupan dalam produksi atau bila tidak sanggup langsung dikomunikasikan saja agar dirinya bisa menghubungi penjahit musiman. Jasanya yang akan digunakan bila orderan overload dan di kejar tenggat.
"Bu Lina tolong, panggil seperti biasanya. Panggil Mbak, jangan Ning."
"Nggak bisa gitu dong Ning, sekarang kan Ning Ayana istrinya Gus Ilyas."
"Gus Ilyas yang putra kyai, bukan saya. Kalau Ayana sama seperti Bu Lina, orang biasa. Jadi tolong, cukup panggil Mbak ya Bu," pinta Ayana.
Di hari itu sudah berapa orang Ayana meminta pada orang-orang pada orang-orang yang memanggilnya Ning untuk memanggilnya dengan sebutan Mbak.
Sebagaimana dia yang tidak terbiasa untuk dipanggil ustadzah yang seakan menunjukkan strata tertentu Ayana ingin menjadi teman teman berdiskusi teman proyek pengembangan atau teman bicara di mana yang namanya teman harus tidak ada panggilan yang membuat sungkan apalagi seperti sekarang disebut Ning.
Orang akan semakin menjaga sikap, tidak menunjukkan jati dirinya tidak luwes bertindak dan Ayana tidak menyukai itu. Oleh karenanya, mari bersikap seperti biasanya panggil Mbak Ayana jangan Ning.
"Sebenarnya pantas banget sih kalau Mbak Ayana bersanding sama Gus Ilyas. Serasi."
Ayana tersenyum dengan tulus rayu mengucapkan terima kasih atas ungkapan dari salah satu penjahit tersebut.
Setelah urusan melakukan delegasi instruksi dengan beberapa rumah jahit pada hari itu, Ayana juga perlu melakukan persiapan mengajarnya kembali. Silabus serta konsep bahan ajar yang akan ia susun dalan power point ada di ruang pengajar.
Ketika Ayana memasuki ruang kerjanya banyak dari para ustadzah dan ustad ataupun para staf yang ada di pesantren mengucapkan selamat atas pernikahannya sekaligus mendoakan bagaimana ini suatu keberkahan padahal sebelumnya dia takut sekali mendengar bahwa tidak pantas untuk bersanding dengan Gus Ilyas
Baru saja akan duduk di kursi kerjanya yang ada di ruang pengajar, terlihat dari pop up ponselnya jika suaminya yang melakukan panggilan WhatsApp.
"Assalamualaikum, Gus," salam Ayana setelah menggeser ikon telepon hijau ke atas.
"Waalaikumsalam. Kamu sudah selesai keliling ke penjahitnya, Ayana?"
"Iya, Gus. Sudah."
"Sekarang kamu sedang ada dimana?"
"Di ruang pengajar, Gus. Saya mau menyiapkan materi mengajar buat besok. Sekaligus review juga."
"Bukannya kamu pengajar madrasah, bukan uztazah diniyah? Seharusnya ba'da Zuhur seperti ini kamu sudah bisa pulang, 'kan?" tanya Ilyas yang dipendengaran Ayana seakan sindiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayana's Marriage
SpiritualeAyana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar pondok. Yang Ayana tahu, suaminya akan memperkenalkan diri sekaligus menjemputnya saat project p...