Lantunan ayat al-Quran dari masjid pesantren putra membuat Ayana menghentikan langkah. Suara yang asing dan menenangkan. Hal yang membuat Ayana penasaran siapakah pemilik suara yang indah ketika menggemakan ayat Allah tersebut.
Tidak hanya Ayana yang penasaran dengan pemilik suara yang indah itu, Fiza yang berjalan di samping Ayana juga mempercepat langkah menuju Masjid Pesantren. Keduanya akan menghadiri pengajian bulanan yang khusus dihadiri oleh pengajar dan staf al-Insan.
Acara yang rutin diadakan dengan pengisi bergilir dari kalangan ustad dan ustazah sebagai media bagi Kyai Marwan melihat kemampuan pengajar pesantren. Sedangkan bagi Ustad dan Ustazah kegiatan ini dijadikan wadah latihan bagi mereka dalam berpidato.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” salam dari lelaki yang sebelumnya telah mengemakan Kalamullah. Kemudian terdengar serentetan kalimat pembuka ceramah dalam bahasa Arab dan juga bahasa Indonesia yang umumnya diucapkan sebelum memasuki topik ceramah.
Acara yang hendak dimulai, membuat Ayana dan Fiza segera mengambil tempat duduk. Tabir yang menjadi pemisah antara shaf laki-laki dan perempuan membuatnya semakin penasaran, siapakah yang kali ini kebagian mengisi kajian.
“Saudaraku, sejawat pengajar di Pesantren al-Insan. Ayat Allah yang baru saja saya baca adalah Qur’an surat Al Insan yang terdiri dari 31 ayat. Nama surah yang sama dengan nama pesantren kita bernaung. Dan pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan salah satu intisarinya yang semoga bisa menjadi naungan kita sebagai insan, manusia yang mengharap rahmat dari Allah subhanallah ta’ala.”
Dua perempuan yang bersahabat tersebut melakukan aksi saling pandang kemudian tersenyum geli seolah saling mengejek satu sama lain. “Aku baru tahu kalau yang tadi dibaca itu surat al-Insan,” kata Fiza dengan senyumnya yang tidak sedap dipandang.
Ayana juga merasa geli dengan kapasitas yang ia dan Fiza miliki. “Kamu pikir aku tahu? Sepertinya hanya kita berdua orang al-Insan disini yang hanya hafal jus amma.”
Fiza langsung saja terkikik geli mendengar yang Ayana katakan. Ada benarnya juga. Kenapa dua orang tersebut bisa bersahabat? Sepertinya ... karena keduanya mempunyai kesulitan untuk menghapal ayat-ayat Allah.
Ada 30 juz, 114 surat dan enam ribu lebih ayat, bagaimana cara menghapalnya? Bagi Ayana dan Fiza hanya orang-orang pilihan dengan kelebihan menghapal yang bagus yang bisa melakukannya. Sedangkan dua orang yang bersahabat itu sudah membatasi diri bahwa bukan orang yang mempunyai kelebihan di bidang tersebut.
“Ssttt ...” teguran dari ustazah lain yang duduk tak jauh dari Ayana dan Fiza. Tentu saja hal tersebut membuat keduanya berusaha memfokuskan kembali pada isi ceramah.
“Manusia jika mengetahui asalnya dari air mani harusnya tidak sampai berlebihan dalam membanggakan diri. Justru, harusnya manusia sadar bahwa dunia adalah banyak ujiannya. Ujian yang membuat manusia bersyukur atas segala karunia-Nya atau justru ingkar yang dekat dengan kekafiran.”
Dari tata cara menyampaikan, Ayana merasa pengisi kali ini memiliki kematangan ilmu dan kepribadian. Terasa begitu terstruktur, tidak terkesan menggurui dan enak sekali untuk didengarkan.
“Saya pun sangat yakin, kita punya kelebihan masing-masing pada posisi atau bidang tertentu. Misalnya, ada yang tahu teknik murotal, bisa bersyukur dengan mengajarkan cara membaca al-Quran yang merdu dan menyentuh bagi orang lain. Sehingga orang yang mendengarkan muncul dorongan untuk turut membaca. Begitupula dengan yang hafiz, tentu pernah tahu bagaimana cara menghapal ayat-ayat Allah. Membagi proses cara menghapal tersebut, bisa jadi lahan bersyukur atas nikmat Allah.”
Ayana terpengkur dengan apa yang lelaki di shaf pria itu sampaikan. Ayana sedang mempertanyakan dirinya sendiri, bagaimana cara dia bersyukur. Dia tidak bisa melantunkan ayat Allah dengan merdu, juga bukan seorang hafiz. Lantas, apa yang disampaikan penceramah itu tidak bisa Ayana jalankan.
“Harapan saya, kelebihan yang kita miliki bukan untuk berbangga diri melainkan sarana untuk bersyukur. Karena sebaik-baik manusia ialah yang belajar al-Quran, mengajarkan dan mengamalkan. Baik sekarang saya buka sesi untuk siapa yang bertanya perihal materi yang baru saja saya sampaikan.”
Kondisi hening, materi yang disampaikan lelaki yang Ayana tidak ketahui itu begitu runut, detail serta mudah dipahami. Memang tidak mengherankan apabila tidak ada yang perlu ditanyakan.
Fiza menyenggol Ayana agar sahabatnya bertanya. Ayana yang merasa paham dan menbenarkan apa yang pengisi sampaikan, dirinya mendelik kemudian menggeleng. “Kalau kamu yang mau bertanya, ya tanya sendiri.”
“Kamu itu sedikit, se-di-kit lebih pintar dari aku. Biasanya kritis dan analis. Masa enggak muncul pertanyaan sih?” kata Fiza yang memaksa.
“Enggak, enggak ada,” tekan Ayana.
“Iiissh .... Ayo --,” kalimat Fiza terpotong karena keduanya kali ini di tegur oleh Ning Zahira. Seorang putri dari sahabat Kyai Marwan.
Fiza memanyunkan bibir dan mendengus. Maksud hati ingin mengumpat, tetapi dia mencoba mendoktrin diri agar sabar. Takut kualat apabila mencerca putri Kyai meskipun dalam hati.
Suara-suara kebaikan yang keluar apabila Fiza dalam mode malaikat. Apabila sebaliknya, tidak pandang bulu sumpah serapah pun kadang keceplosan dari lisannya. Kali ini ia sadar telah salah dan membuat kegaduhan.
“Mbak Fiza bisa hargai Gus Ilyas yang sedang mengisi acara? Tolong, jangan bicara sendiri,” tegur Zahira.
Dengan senyum selebar mungkin. Tentu saja itu bukan senyuman yang tulus dan enak dipandang. Sebuah formalitas saja. “Inggih, Ning.” Suara Fiza dibuat semendayu mungkin.
Di antara rasa kesal karena teguran Zahira, Fiza pun merasa penasaran akan sosok Gus Ilyas. Nama yang sering seanter di Pesantren al-Insan akan menjadi penerus pengasuh.
Lain lagi dengan apa yang berkecamuk dalam kepala Ayana. Dia menemukan jawaban kenapa materi dan cara penyampaian terasa ‘daging’ tapi mudah dicerna. Meskipun belum pernah bertemu dengan Gus Ilyas, tapi gosip bagaimana kualitas putra bungsu Kyai Marwan tersebut sering menyusup di pendengar Ayana.
“Baik sejawat pengajar di Pesantren al-Insan. Apabila tidak ada yang ditanyakan, saya cukupkan kajian pada malam ini. Semoga ada hikmah yang dipetik. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah, kebenaran datang dari Allah sedangkan saya sebagaimana manusia tidak luput dari kesalahan. Afwan. Wabillahi taufiq wal hidayah, wa rido’ wa Inayah. Summasalamualikum warahmatullaahi wabarakatuh.”
Gema jawaban salam serentak. Semua hadirin sudah bersiap untuk pergi. Fiza yang mempunyai rasa penasaran tinggi mengajak Ayana untuk segera keluar. Dia ingin tahu bagaimana paras lelaki pengisi tersebut yang kata Zahira adalah Gus Ilyas.
Menuruti kemauan Fiza, Ayana dan sahabatnya menunggu di teras masjid sambil mengamati orang yang keluar dari pintu masuk-keluar di shaf laki-laki.
Tidak hanya Ayana dan Fiza yang buru-buru keluar masjid, Zahira pun demikian. Perempuan berstatus Ning itu berjalan tergesa ke sisi masjid yang dekat dengan pintu keluar masuk.
Ketika Kyai Marwan keluar bersama lelaki yang sepertinya di usia dua puluhan, Zahira memanggil. “Pak Kyai.”
Panggilan itu mampu di dengar oleh siapapun, terlebih Ayana dan Fiza yang memang fokus tempat interaksi antara Zahira dan keluarga pesantren. “Yah, previlege putri Kyai, enggak ada sungkan-sungkannya memanggil dan berinteraksi sama Kyai Marwan.”
Ayana memutar bola matanya malas. Dia menyesal mengikuti mau Fiza. Jiwa julid Fiza terkadang tidak tahu situasi untuk berkomentar.
“Kira-kira Ning Zahira ngomong apa sama Kyai Marwan dan Gus Ilyas ya, Na?”
Ayana berdecak enggan menanggapi. “Sudah-sudah, bisa lain waktu tahu bagaimana rupa Gus Ilyas. Sekarang balik kamar aja,” kata Ayana yang kehilangan minat untuk mengetahui sosok penceramah yang mendapat bintang lima dari Ayana.
Menyelamatkan telinganya dari kalimat unfaedah yang keluar dari lisan Fiza harus Ayana dilakukan. Dirinya tidak ingin keterusan membicarakan orang lain, terutama Ning Zahira.
Fiza bukanlah sosok mudah menyerah jika menginginkan sesuatu. Dia mengabaikan ajakan Ayana untuk segera kembali ke asrama pengajar. Rasa penasaran yang dimiliki Fiza tidak mampu dibendung lagi. Fiza memanggil dengan keras demi bisa tahu bagaimana wajah putra Kyai. “Gus Ilyas!”
Ayana yang tidak menyangka temannya sebagai perempuan di lingkungan al-Insan, Fiza bisa mengeluarkan suara yang begitu lantang. Ayana pun mendelik pada sahabatnya kemudian mengedarkan pandang pada sekitar. Dirinya menyadari bahwa keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang. Hal ini karena peserta kajian belum semuanya meninggalkan area masjid.
Di saat mata Ayana berpendar hingga ke titik dimana Ilyas dan keluarga pesantren berada membuat Ayana bersitatap dengan Ilyas. Tidak tahu magnet apa yang membuatnya terpaku dengan sosok Ilyas, yang jelas dari kejauhan Ayana merasa Gus dari al-Insan punya daya pikat yang kuat.
“Na,” panggil Fiza sambil menyikut Ayana. Tindakan kecil yang tentunya mengejutkan bagi Ayana yang sedang terpana dengan sosok Ilyas.
“Astaugfirullah,” lirih Ayana begitu pelan hingga membuang ke sembarang arah.
Ayana yang merasa malu atas pekikan Fiza dan juga pada dirinya sendiri karena melihat Ilyas begitu lama dengan tatapan terpesona membuatnya menarik Fiza untuk segera pergi dari lokasi.
Dia malu dilihat para pengajar lainnya terlebih lagi keluarga pondok pemimpin dan pengelola pesantren al-Insan.
“Suaranya itu loh Za, malu tahu!” protes Ayana sambil menggeret sahabatnya.
“Eh, kamu juga menatapnya begitu amat,” balas Fiza tidak terima disudutkan.
Kemudian keduanya meninggalkan halaman masjid dengan saling tuding siapa yang berlebihan ketika mengetahui sosok Gus Ilyas.Senin, 11 Juli 2022
Makasih ya, sudah lanjut baca ke part satu. Sudah di masukkan ke perpustakaan? 😊
Spesial di bulan Juli cerita ini akan update seminggu 2x, hari Senin dan Jum'at 🥳
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayana's Marriage
EspiritualAyana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar pondok. Yang Ayana tahu, suaminya akan memperkenalkan diri sekaligus menjemputnya saat project p...