Harusnya kalian bisa senang aku mulai update seminggu sekali nih ....
____Selamat membaca____
Ayana mengerjabkan mata serta menyesuaikan dengan sekitar. Perutnya terasa perih karena belum sarapan dan makan siang. Mengingat dirinya pingsan di Dalem Ayana berusaha langsung duduk dari berbaring. Hasilnya, kini tiba-tiba kepalanya merasa sedikit pening.
“Ceroboh kamu Na, baru sadar langsung bangun gitu aja,” omel Ayana pada dirinya sendiri. Meski dirinya punya kepribadian yang sangat tidak menyukai masalah, tetapi Ayana sangat keras kepada dirinya sendiri.
Ketika sudah menguasai kesadaran dan dirinya sendiri, kini netra memindai ruangan dirinya berada. Ia tidak mengenali kamar yang terkesan bersih dan minimalis ini. Berusaha menerka tentang tempat di mana dia tersadar saat ingatan Ayana melayang pada tragedi dirinya pingsan waktu di dalem Kyai Marwan.
Jika diamati lebih detail, serasa ini tidak akan cocok untuk menjadi kamar seorang santri. Kamar seluas 4 x 5 dengan adanya satu meja dan kursi kayu di sudut kamar, lemari pakaian yang cukup besar serta satu satu sisi tembok yang tertempel lemari dengan buku berisi penuh. Ratusan buku ada di kamar seorang santri rasanya tidak mungkin.
“Astagfirullah ...,” ucap Ayana saat ia berusaha menyimpulkan bahwa dirinya ada di salah satu kamar di dalem. Sekelebat kemungkinan tersebut terbesit dalam benak Ayana jika dihubungkan dengan terakhir ia berada sebelum semua menggelap, ia sedang berada di dalem utama. Pikirannya mungkin dia sedang di tamu atau Ning Liya.
Saat terdengar gangang pintu yang akan terbuka dari luar, Ayana mengalihakan pandangan ke pintu. Ia menanti dan penasaran siapa sosok yang akan masuk. Ayana akan bertanya untuk membunuh rasa penasaranya dan sekaligus mengucap terima kasih karena telah menolongnya saat pingsan.
Mata Ayana membulat ketika mengetahui sosok yang membuka pintu tersebut adalah seorang lelaki yang Rayyan juluki sebagai jelangkung. Lelaki yang selalu menyabotase pikiran dan perasaannya karena selalu muncul dalam benak dan kenyataan seperti sekarang ini.
“Astaugfirullah ... Gus Ilyas tolong keluar dulu,” teriak Ayana yang menutupi kepalanya dengan bantal dan wajahnya ia sembuyikan antara kakinya yang menekuk.
Dia sadar bahwa ada di ruangan yang cukup privat dan ketika tanpa sengaja melihat juntaian rambutnya sendiri, maka secara reflek langsung berteriak dan mengambil apapun dari auratnya yang tidak tertutup itu.
Mendengar pekikan Ayana dan mengerti akan kepanikan wanita itu Ilyas pun menuruti perintah Ayana untuk keluar.
“Aku hendak mengecek apakah kamu sudah siuman apa belum? Keluarlah, aku sudah mempersiapkan makanan,” kata Ilyas yang membelakangi Ayana.
“Iya,” jawab Ayana sekenanya. Ayana masih belum sepenuhnya sadar dari linglung karena masuknya Ilyas di ruangan yang cukup privat, hanya berdua dan ia belum mengenakan hijab.
“Aku tunggu kamu di luar,” kata Ilyas lagi.
Sekali lagi Ayana mengatakan iya masih di posisi yang sama. Setelah mendengar derap langkah yang menjauh Ayana baru berani menurunkan bantal. Debar di dada sudah tidak keruan belum lagi rasa malu karena tidak mengenakan kerudung di depan Ilyas. Ayana seakan tak punya muka dan tidak ingin bertemu Ilyas jika mengingat kejadian barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayana's Marriage
EspiritualAyana tidak tahu tentang lelaki yang menikahinya. Saat khitbah dan akad terjadi, dirinya sedang mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar pondok. Yang Ayana tahu, suaminya akan memperkenalkan diri sekaligus menjemputnya saat project p...