extra - Obrolan tanpa ruang; Haidan

144 10 0
                                    

[Raya's Voice]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Raya's Voice]

Hari ini senyumku terus mengambang, membuat beberapa orang yang berpas-pasan di koridor kampus menatapku heran. Tapi aku tidak peduli sih, aku bersemangat ingin cepat cepat menyusul Nathan dan menyuruhnya untuk duduk di bangku kemudi lalu berangkat menuju suatu tempat.

Ini masih jam setengah dua siang, Nathan bilang selesai kelas setengah jam lagi, jadi dimana aku harus menunggu? Tidak mungkin aku pulang, karena aku payah dalam membawa mobil.

Kantin.

Tempat itu lewat begitu saja di pikiran ku. Oke, mari mengisi perut dengan makanan~

Dalam perjalanan ku aku menelisik tempat yang menjadi pijakan Nathan tiap harinya—untuk beberapa tahun ke depan untukku juga sih. Aku mengambil S2 di Jakarta, di kampus yang sama dengan Nathan.

Nathan-nya masih belum lulus, dia harus mengulang beberapa kelas yang tertinggal semasa buruk kami setelah kehilangan Mama dan Ayah. Aku juga ketinggalan sih, tapi aku mengejarnya selama masih di Jakarta, lagipula saat itu kuliah tidak selalu full ke kampus, lebih sering lewat zoom.

"Pesen apa mbak?" Aku celingukan melihat beberapa menu makanan disini. Gila, enak semua. "Emm soto ayam deh boleh, sama.. Es teh ya buk."

Si ibu ibu mengangguk saja.

Norak banget, empat tahun tinggal di Amsterdam membuatku lupa dengan makanan di negara sendiri. Akhirnya aku memilih duduk di tempat sedikit pojok.

Aku menelisik tempat ini sekali lagi. Meskipun sudah cukup lama aku disini, rasanya masih asing. Lagipula saat aku pulang, justru rasa hampa yang datang, tidak ada sambutan, tidak ada senyum lebar dari Mama dan ayah.

Tapi papa menyambut ku hangat di rumahnya, papa masih papa ku yang dulu.

Nathan juga ada, tapi aku tidak memberitahunya saat aku pulang waktu itu. Aku tahu dia sibuk dengan kuliahnya, dia juga anak organisasi—sulit di percaya memang, tapi benar adanya.

Jadi seingat ku waktu itu dia terkejut saat ada suara berisik di dapur, Nathan mengira aku itu maling atau apa—lebih parahnya dia sempat mengira aku hantu, dasar cowok gila.

Sebenarnya aku juga sedikit kaget sih saat tahu Nathan sering datang kerumah papa hanya untuk main game dan menamainya meminum kopi—keduanya sama sama pecandu kopi, dan rokok, hanya ketika lelah dan ingin lari dari kenyataan.

Makanan datang, aku mengisyaratkan terimakasih.

Sebenarnya banyak yang ingin kuceritakan di platform yang khusus dibuat untuku ini hihihi, tapi—

📳~

—sebentar, Nathan menelpon.

"Halo?"

"Halo, kamu dimana?" Tanyanya.

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang