4. Pamit

159 25 17
                                        

💙Selamat Membaca💙

Hingga fajar hampir menjelang Aji masih terjaga. Entah mengapa kata-kata dari ayahnya masih saja terngiang di telinganya. Padahal sudah bukan hal yang baru lagi mereka bertengkar karena berbeda pendapat. Untuk kali ini Aji tidak bisa lagi membantah kata-kata sang kepala keluarga. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar semua. Seandainya dia sekali saja mendengarkan pendapat lelaki itu mungkin saja nasibnya tidak akan seperti ini. Terbukti sekarang, apa yang dulu pernah beliau katakan tentang Shinta, benar-benar terjadi.

Aji ingat saat memperkenalkan Shinta pertama kali. Kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu sungguh di luar dugaan. Memang hanya sebuah pertanyaan sederhana tetapi sempat membuat hubungan antara bapak dan anak itu renggang. Wijaya bertanya 'kamu yakin akan menikahi wanita seperti itu' dan pertanyaan itu membuat Aji marah, bahkan sampai tidak pulang beberapa hari kala itu. Namun karena terlalu besar cintanya pada Shinta walaupun Ayahnya tidak terlalu menyukai Shinta, Aji tetap mempertahankan wanita itu.

Sejak kecil Sangaji sudah dididik keras agar bisa menggantikan Wijaya sebagai seorang prajurit. Namun karena berbagai sebab harapan Wijaya harus terkubur. Aji yang tidak suka di atur dan terlalu dimanja oleh Ibunya tumbuh menjadi remaja yang terbilang nakal. Ditambah salah dalam memilih teman bermain membuat pergaulan Aji semakin tidak karuan. Nyatanya profesi Ayahnya sebagai seorang TNI tidak membuatnya takut untuk berulah. Ayahnya yang sering dinas ke luar kota dan Ibu yang sibuk dengan usaha keluarga membuat Aji kurang mendapat perhatian. Hal itu semakin membuat Aji tidak terkontrol.

Suara adzan Subuh dari Masjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya menyadarkan Aji dari lamunan. Gegas lelaki itu bersiap-siap untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Setelah salat dia ingin memejamkan mata sejenak karena memang dari semalam belum tidur sama sekali.

***

Jam sembilan lebih tiga puluh Aji baru terbangun padahal tadinya dia hanya berniat tidur selama satu atau dua jam saja. Dia merasa sedikit pusing di kepalanya, mungkin efek dari tidak bisa tidur semalam. Tidak begitu menghiraukan rasa pusing di kepalanya, Aji segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sesuai rencana dia akan menemui Ibu Rahayu, mantan mertuanya untuk berpamitan. Walaupun pernikahannya dengan Shinta telah berakhir, tetapi rasanya tidak elok jika dia tidak berpamitan kepada Rahayu sebelum pergi besok.

Tiga puluh menit kemudian Aji sudah siap, tetapi sebelumnya dia berniat mengisi perutnya yang terasa lapar. Berjalan gontai ke arah ruang makan dalam hati dia hanya berharap tidak bertemu dengan Bapaknya lagi. Sampai di ruang makan kebetulan ada Mbok Sri, salah satu asisten rumah tangga yang paling lama berkerja dengan keluarga Wijaya.

"Mas Aji mau sarapan?" Mbok Sri bertanya saat melihat Aji duduk di salah satu kursi makan.

Aji mengangguk, "Iya, Mbok. Sekalian bikinin kopi, ya," pintanya.

"Iya, Mas. Sebentar Mbok siapkan dulu," jawab asisten rumah tangga yang sudah bekerja di sana sejak Aji masih kecil.

Sepeninggal Mbok Sri, Aji memperhatikan sekeliling. Rumah tampak sepi, sepertinya Bapak dan Ibunya sudah pergi. Pak Wijaya memang sudah pensiun, tetapi sekarang malah semakin sibuk karena ikut menjadi anggota salah satu partai politik. Pak Wijaya memang aktif di dunia politik hanya saja dia berperan di belakang panggung, dia berharap Aji mau mengikuti jejaknya. Namun sekali lagi harapannya harus kandas karena anak lelakinya tidak suka dengan politik. Anaknya lebih suka mengajar dan belajar sedikit tentang bisnis pada Ibunya. Hal ini kembali membuat rasa kecewa bapak dua anak itu semakin besar pada si sulung.

Bukan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang