💙Selamat Membaca💙
Semoga masih ada yang nungguin Pak Aji🤭
Sangaji memasuki kamar Daru, sekilas dia melihat anak itu masih nyaman berbaring di bawah selimut. Hasil cek darah kemarin menurut dokter bagus semua, tetapi mengapa anak ini masih merasa pusing? Apa Dokter itu salah? Atau sebaiknya dia membawa Daru periksa ke tempat lain yang lebih bagus agar hasilnya akurat?
"Pak Aji?" Daru tiba-tiba membuka mata dan terkejut saat melihat Aji sudah berada di dalam kamarnya. Anak itu pun kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang.
"Kamu masih pusing, Daru?"
"Sedikit," jawab anak itu.
"Kita periksa ke Dokter yang lain saja, ya!"
Daru menggeleng, "nggak usah, Pak. Nanti merepotkan Bapak."
Aji menyentil dahi muridnya itu, "Memangnya kamu minta digendong ke Dokternya, jadi bikin saya repot?"
Daru tertawa mendengar candaan garing yang dibuat oleh Aji. "Ya, kalau Bapak kuat gendong saya, nggak apa-apa!"
"Wah, kamu ngeremehin saya?"
Daru hanya mengedikkan bahu dan membuat Aji gemas karena diremehkan oleh bocah ingusan itu. Spontan dia mengarahkan tangannya untuk mencubit perut Andaru. Tentu saja Daru menghindar dan beringsut menjauh membuat Aji tanpa sadar ikut naik ke atas ranjang berusaha mengejar anak itu.
"Ampun, Pak. Geli!"
"Masih mau meremehkan saya, heum!"
"Nggak, Pak! Ampun!" Daru memohon karena sudah tidak tahan, Aji bukan mencubit melainkan menggelitikinya.
Mereka berdua tertawa lepas hanya karena hal yang remeh itu. Hingga sesaat kemudian Aji tersadar kalau Daru masih sakit. Lelaki itu memperhatikan wajah anak lelaki di depannya yang tampak pucat, tetapi terlihat ada sedikit rona bahagia saat mereka bercanda tadi.
Aji membenarkan posisi duduknya di tepi ranjang karena tadi dia berada agak di tengah ranjang.
"Kalau begitu, kita periksa lagi ke tempat lain. Saya kok ragu sama hasil tes darah kemarin!"
"Tidak usah, Pak!" Daru bersikeras.
"Heh, anak siapa sih! Ngeyel banget?"
"Pak Aji juga ngeyel. Udah tahu gak mau, kok maksa!"
Aji ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung karena Keshwari masuk dengan membawa cangkir berisi kopi.
"Ini kopinya, Pak. Silakan."
"Terima kasih."
"Daru, ibu tinggal ke tempat laundry sebentar, ya?" pamit Keshwari.
"Iya, Bu!"
Kemudian wanita itu mengalihkan pandangan ke arah Aji. "Pak, nitip Daru sebentar, tidak apa-apa?"
Aji mengangguk, "iya, nggak apa-apa."
"Ibu' ih, emang aku balita harus di titipin segala!" protes Daru.
"Gak usah di tanggepin Bu, silakan kalau mau ke tempat laundry. Biar saya yang menemani Daru di rumah."
Andaru menyipitkan mata ke arah Aji yang lelaki itu tanggapi dengan hal yang sama, ditambah Aji menaikkan sedikit dagunya seolah-olah berkata, 'apa?'.
Keshwari hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak dan gurunya itu. Tak urung, seulas senyum tipis menghiasi bibirnya.
"Ya sudah, saya permisi sebentar. Daru, Ibu pergi dulu." Kemudian Keshwari berlalu dari kamar anaknya.
Sepeninggal Keshwari, Aji meraih cangkir kopinya dan bermaksud meminum cairan hitam kental itu, tetapi baru saja dia akan menyesapnya sebuah suara menghentikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Pertama
RomanceSangaji Prasetya seoarang lelaki yang baru saja menghadapi badai rumah tangga mencoba mencari ketenangan dengan pindah ke luar kota dan mengajar di tempat terpencil. Namun sayang, niatnya menyembuhkah luka malah membuka cerita yang sama sekali tidak...