7. Pertemuan?

171 26 48
                                    

💙Selamat Membaca💙

Aji telah memikirkan semalam dan dia akhirnya memutuskan untuk memilih sekolah yang dekat saja. Entah mengapa perasaannya mengatakan jika dia lebih baik memilih di sana. Mungkin dia juga tidak akan menetap selamanya di sini. Nanti jika Aji merasa semua sudah benar-benar baik, dia akan pergi dari sini dan pulang lagi ke tempat asalnya.

Saat Aji bermaksud untuk pergi ke rumah Aryo, tiba-tiba saja Pakdenya sudah menelpon terlebih dahulu. Kakak lelaki dari ibunya itu langsung menanyakan keputusannya, Aji pun memberitahu perihal pilihannya tersebut. Aryo hanya meminta Aji bersiap-siap jika tiba-tiba diminta datang ke sekolah.

Setelah selesai berbincara dengan Aryo, Aji berniat ingin jalan-jalan di sekitar rumahnya. Segarnya udara pagi mungkin akan membuat pikirannya lebih rileks. Tanpa membuang waktu Aji segera bersiap-siap. Tepat saat lelaki itu akan mengunci pintu rumah seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun datang dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam," Aji menjawab salam. Lelaki itu kemudian menoleh lalu memperhatikan sosok wanita yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Maaf, cari siapa, Bu?" tanyanya kemudian.

Wanita tadi tersenyum kikuk, tatapan mata Aji yang tajam membuatnya sedikit tidak nyaman.

"Perkenalkan, Pak. Saya Puji, yang di minta Pak Aryo untuk bantu-bantu di sini," jawab wanita itu sembari mengulurkan tangan.

"Oh, Ibu Puji," Aji menyambut uluran tangan wanita itu. "Saya Aji, Bu." Dia pun memperkenalkan diri.

"Pak Aji mau pergi?" tanya Puji.

"Panggil Mas saja, Bu." Aji merasa tidak nyaman di panggil Pak karena dari segi usia jelas dia jauh di bawah lawan bicaranya saat ini. "Iya, saya hanya mau jalan-jalan berkeliling sebentar," lanjutnya menjelaskan. Wanita tadi hanya mengangguk mendengarkan penjelasan Aji.

"Sebenarnya belum terlalu banyak yang harus di bereskan, tetapi tidak apa-apa, Ibu masuk saja kalau begitu." Aji kembali bersuara sembari membuka kembali pintu yang tadi sudah hampir dia kunci.

Wanita yang bernama Puji itupun mengangguk, "Eum maaf, Mas, kalau bisa jangan panggil Ibu. Saya ndak enak," katanya sambil menunduk tidak enak.

Aji pun tersenyum mendengar keberatan dari wanita tadi. "Saya panggil Mbak, bagaimana?" tawar Aji.

"Iya tidak apa-apa, Mas. Kalau begitu saya masuk dulu mau langsung beberes. Oh iya, Mas Aji mau di masakkin sesuatu mungkin?" Puji menawarkan dia, ingat Pak Aryo menjelaskan bahwa keponakannya akan tinggal sendiri di sini.

"Boleh, Mba. Kalau bisa sayur sop sama tempe goreng saja, plus sambal," Tanpa pikir panjang Aji menyebut makanan kesukaannya. Lelaki itu mengeluarkan dompet guna memberi uang Mba Puji untuk belanja dan langsung menyerahkan uang tersebut.

"Baik, Mas, tetapi harap dimaklum jika nanti masakan saya tidak sesuai selera Mas Aji. Maklum orang kampung bisanya masak yang sederhana. Eh, kalau cuma sayur sop sama tempe uangnya kebanyakan." Mba Puji mengembalikan lembaran uang berwarna merah kepada Aji. Dia merasa tidak enak karena jumlahnya lumayan banyak kalau hanya untuk membeli bahan makanan yang tuannya minta.

"Tidak apa-apa,s saya juga orang kampung kok, Mba. Kalau uangnya simpan sisanya untuk besok. Mungkin ada keperluan lain yang harus di beli." Aji menolak uang yang akan dikembalikan oleh Mba Puji.

Sebenarnya Mbq Puji sungkan menerima uang itu, tetapi dia juga takut kalau memang perlu membeli sesuatu untuk keperluan bebersih rumah dan harus minta lagi ke Aji. Akhirnya wanita itu menerima dan menyimpan uang tersebut. "Kalau begitu nanti saya catat semua pengeluarannya, ya, Mas?"

Bukan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang