Tiga Puluh Satu

11 0 0
                                    

Hampir saja

|||

Jangan terlalu percaya pada cerita yang sudah lama padam.

°°°

Seminggu berlalu, Rivna menatap foto yang dikirim temannya yang kuliah di Amerika Serikat bernama Syanaz. Ia seangkatan dengan Randa yang juga alumni SMA Bluesky.

Tepat saat Rivna mendapatkan foto itu, ia langsung kebingungan mengapa bisa Sora ada di Amerika dan malah bersama Randa? Kenyataannya jika Sora tidak sekolah, bisa saja. Tapi, sebaliknya, Sora tetap sekolah yang artinya ia tidak mungkin di Amerika dalam waktu secepat itu.

Rivna kira itu kebetulan, tapi setelah ia menyuruh Syanaz membututi Randa, selalu ada Sora. Yah, walaupun sejauh ini Sora berada disekitaran Randa saat Siang saja.

Sebenarnya bisa saja Sora bolak balik tiap hari ke Amerika, tapi apa iya Sora sekaya itu? Atau bahkan segabut itu? Seperti tak masuk akal sekaligus membingungkan.

Setau Rivna, Sora hanya anak biasa-biasa saja atau mungkin tergolong miskin. Lihat saja apa yang dipakai gadis itu saat sekolah, barang-barangnya tidak ada yang mahal.

Dan juga, mengapa Sora bersama Randa? Mana bolak balik lagi. Kalau pacaran 'kan bisa LDR an, bisa telpon ataupun video call. Sekeras apapun Rivna berpikir, ia tetap merasa semuanya tidak masuk akal.

Apalagi bolak balik dari Indonesia-Amerika dengan pesawat bisa 18 hingga 30 jam. Tidak mungkin dia bisa secepat itu ke Amerika jika naik pesawat. Lantas bagaimana dia bisa ada di Amerika dan Indonesia dalam waktu secepat itu?

Maka dari itu, hari ini Rivna memutuskan untuk membututi Sora. Dari sejak pulang sekolah hingga akhirnya Sora memasuki rumah bersama Reani. Bentar, mereka tinggal bersama? Atau nginap? Rivna menggelengkan kepala, pusing memikirkan jawabannya. Ia tetap menatap rumah itu dari mobil.

°°°

Sepulang sekolah, Sora memutuskan untuk belajar bersama dengan Reani karena beberapa hari ini, ia sulit memahami materi. Reani orang yang pintar sekaligus pandai mengajari, jadi senang belajar bersamanya. Reani menyetujuinya karena kebetulan Ayahnya tidak ada di rumah.

Soal Reani, banyak hal yang Sora tidak tahu meskipun sudah begitu lama bersahabat. Seperti Reani yang baru tahu kalau Sora anak direktur sejak kelas XI SMP, begitu juga Sora sekarang. Reani menceritakan kehidupan paling privasi nya kepada Sora setelah sekian lama menutupinya.

Bagi mereka berdua, masalah keluarga adalah privasi yang paling sulit untuk diungkapkan. Butuh waktu dan saat yang tepat. Sekarang mereka sudah saling terbuka. Tidak perlu ada hal yang ditutup-tutupi. Mereka hanya perlu saling menguatkan dan biarkan luka itu sembuh sembari mendewasakan.

Setelah beberapa jam belajar, mereka memutuskan istirahat sejenak sekaligus mempersiapkan diri untuk tidur.

"Kalau dipikir-pikir, hidup seseorang gak ada yang mudah, ya?" celetuk Sora tiba-tiba mengingat bagaimana kehidupan mereka berdua.

Reani tersenyum remeh. "Begitulah dunia, kawan. Semakin dikejar semakin sulit digapai, bahkan untuk gak dikejarpun udah sulit, mending hidup secukupnya aja. Berusaha, sabar, dan ikhlas."

Sora menoleh, menatap teman seperjuangannya itu. "Jujur setelah gue denger cerita lo..." Reani juga ikut menatapnya. "Gue nyesel pernah ngeluh dan berharap cepat mati." Mata Sora menerawang, mulai berkaca-kaca. "Padahal gue gak ada apa-apanya dibandingkan lo," gumamnya pelan dengan menundukkan kepala.

Plak! Tamparan itu berasal dari tangan Reani dengan bahu Sora sebagai korbannya. "HEH, gak boleh banding-bandingin masalah lo sama orang lain!" serunya marah. "Semua orang punya batas mental nya masing-masing, karena itu semua masalah gak bisa lo sama ratain. Kalau ada yang bilang 'gue paham apa yang lo rasain', itu omong kosong!" Decakan kesal keluar dari mulutnya. "Walaupun sama masalahnya, rasanya gak bakal sama. Hati kita sama hati orang lain itu beda. Jadi stop adu nasib. Kita ini sama aja, sedang merasakan hukuman. Bukannya dunia adalah hukuman bagi Nabi Adam? Jadi, kalau sulit, ya, wajar, yang ga wajar, tuh, menyerah."

Second SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang