Zora
Sekitar pukul 03.00 pagi gue udah terbangun dari tidur. Lebih tepatnya kebangun. Enggak ada rencana buat bangun sepagi buta ini.
Gue udah berkali-kali coba buat tidur lagi tapi tetap enggak membuahkan hasil. Daripada gue capek maksain tidur, mending gue pake buat nonton film. Siapa tahu dipertengahan nanti ketiduran. Meski akhirnya, gue menghabiskan dua film dengan masing-masing film berdurasi 1 jam.
Seharusnya pagi ini gue pergi ke kampus untuk kuliah. Tapi rumah bernuansa coklat yang berada di hadapan gue ini lebih memikat buat dikunjungi. Pagi ini gue udah ada di depan rumah Dion.
Dion, satu-satunya sahabat yang gue punya. Dia udah jadi temen gue dari SMP. Lumayan langgeng, walau gue yakin dia beneran pengen buang gue dari daftar pertemanannya.
"Dioon." Gue berteriak di depan gerbang yang masih terkunci dengan gembok. Gila ya, udah jam 5.45 pagi tapi rumah ini belum menunjukan kehidupan. "DION!" Gue mencoba berteriak, agak serem sih sebenernya takut diusir tetangga Dion.
Kalau kalian kira gue enggak melakukan panggilan telepon atau mengirimnya pesan, kalian salah. Udah 5 panggilan yang gue lakukan tapi enggak kunjung mendapat jawaban dari Dion. Kayaknya kebakaran pun enggak bisa bikin Dion bangun dari tidurnya. Gak ngerti gue, dia tidur atau simulasi mati.
Setelah panggilan telepon ke sepuluh, akhirnya terdengar suara pintu terbuka. Disana terlihat Dion dengan kaos oversize yang sering dia pakai dan rambut acak-acakan kayak abis kena angin ribut. "Ini kalau temen lo diculik mau tanggung jawab hah?"
Gak tahan gue buat enggak menyemprotnya. Padahal yang salah gue sih. Salah sendiri ke rumah orang sepagi buta ini.
"Lo yang gila." Benar kan, gue malah disemprot balik dan dapat satu toyoran di kepala dari Dion. Emang agak brutal nih anaknya, rese.
Gue mengikuti langkah Dion buat masuk ke rumahnya. Rumah yang enggak terlalu besar dan masih cocok untuk ditinggali oleh dia sendiri. Rumah ini bernuansa coklat dengan beberapa furnitur kayu yang menambah kesan klasik.
Dion tinggal sendiri di rumah ini. Rumah peninggalan ayahnya. Dion dibesarkan oleh papahnya karena perceraian kedua orang tuanya sejak umurnya 5 tahun. Mamahnya dulu sering melalukan penganiayaan padanya karena pengaruh dari minuman keras. Masa kecilnya udah segelap itu. Belum lagi bahagianya yang harus direnggut karena papahnya yang meninggal secara mendadak saat dia lulus SMA.
Rumah ini sekarang terasa sangat sepi dan sunyi. Hanya beberapa kali terdengar kicauan burung dari si Be-o, burung beo kesayangan papah. Meski sepi, rumah ini punya banyak cerita. Enggak hanya untuk Dion, tapi juga gue. Gue yang lumayan sering menghabiskan waktu kosong gue disini, sampai-sampai para tetangganya mengenal gue.
"Ngapain kesini pagi-pagi? Gue baru tidur jam 3 anjir." Dion berbicara sambil merebahkan tubuhnya di sofa panjang berwarna krem. "Utututu kasian banget cabat aku. Kamu habis ngapain?" Gue mengunyel-unyel pipi Dion sebelum akhirnya ditepis olehnya.
"Najis banget. Menurut lo aja gue habis ngapain?" Dion berbicara sambil memejamkan matanya. Yakin banget dia berjuang keras buat nahan ngantuknya. Jadi gak tega, tapi karena orangnya Dion sifat kasihan gue sedikit berkurang hehe.
"Lo mau makan apa? Gue buatin sarapan." Udah jadi hal yang umum kalau gue sering iseng masak di rumah Dion. Meski akhirnya makanan yang gue buat harus berakhir di tempat sampah. Perlengkapan masaknya lengkap, mengingat papahnya yang berkerja sebagai seorang head chef di salah satu hotel dekat Kebun Raya.
"Gak usah macem-macem. Panci gosong yang kemaren masih ada di gudang." Dion langsung mendudukan tubuhnya dan berjalan sempoyongan ke arah gue yang sudah berada di dapur. "Lo abis minum?" Dion cuman menggeleng sambil melihat bahan masakan yang tersedia di kulkas.

KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
Ficción General"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...