11

43 4 0
                                    

Hanan

Gue melangkahkan kaki tergesa-gesa di ruangan serba putih yang memiliki banyak tirai penutup ini setelah mendapat panggil telepon dari seseorang yang enggak kue kenal beberapa menit lalu. Mencari seseorang di setiap bangkar yang gue lewati. "Ra, lo kenapa sih?"

Gue melihat Zora dari atas kepala hingga kakinya. Ada beberapa lecet di keningnya, selain itu bersih. Enggak ada luka di bagian lain. Gue sedikit lega setelah melihat kondisinya. Seenggaknya luka-luka yang dia dapat enggak parah-parah banget, meski tetep aja nyawanya hampir berubah jadi nol.

"Nabrak doang dikit, tadi kepala gue pening pas lagi balapan. Jadinya gini deh." Gue pengen banget jitak kepalanya, tapi gak jadi karena takut otaknya kegeser. Sebel banget gue lihat dia kayak gini dan masih bisa nyengir-nyengir polos kayak gak ada dosa. "Sama siapa di sini?"

"Sendiri. Dion gak bisa dihubungin tadi." Zora membuang wajahnya. Memutuskan kontak matanya dengan gue yang saat ini sedang menatapnya tegas.

Enggak, gue enggak marah. Gue enggak ada hak untuk marah. Gue cuman sedikit khawatir dan kecewa karena dia bisa menyepelekan nyawanya seperti ini.

"Bokap lo gimana?"

"Gue gak ngebuhungin, sengaja. Dia gak akan peduli kok, bahkan sampai gue hampir ketemu malaikat maut gini gue masih enggak bisa dapet perhatian dari dia." Dia menyeringai tipis. Masih gak mau menatap ke arah gue, entah apa alasannya.

"Kalau lo cuman mau caper sama bokap lo, caranya enggak kaya gini, Ra. Sayang nyawa lo kalau lo pake buat tester di arena balap gitu."

"Kok lo ngomong gitu, Han?" Kali ini dia baru menatap ke arah gue. Tatapan penuh rasa ketidakpercayaan yang bercampur dengan kecewa.

"Fakta, Ra. Lo sadar gak kalau lo nyumbangin nyawa lo secara cuma-cuma di arena. Lo sayang gak sih sama diri lo?"

"Sadar, gue sadar Han. Gue sayang sama diri gue, makanya gue cari distraksi yang bisa alihin pikiran gue. Selain dari diri gue, gue mengharap sayang dari siapa, Han? Gak ada."

"Tapi gak kayak gini caranya, Ra. Kalau lo mau caper sama bokap lo, gak gini caranya."

"Gue tanya, tau apa sih lo Han tentang gue? Lo tuh gak tau apa-apa Han tentang hidup gue. Bisa stop omong kosong lo gak?"

Zora menatap gue dingin. Sepertinya gue yang salah di sini. Gue yang memancing topik ini, gue juga yang terbawa perasaan khawatir gue sampai lepas kontrol kayak sekarang. Gue memang sempat meninggikan intonasi berbicara gue dengan Zora tadi. Sekarang gue enggak tau gimana perasaannya setelah adu argumen dengan gue. Terlalu canggung untuk gue bertanya tentang perasaannya.

Gue duduk diam di kursi yang ada di sisi ranjangnya. Menenangkan diri sebelum kembali mengajak Zora berbicara. Meski gue enggak tau apa dia masih mau berbicara dengan gue atau enggak sama sekali.

"Gue mau sendiri dulu sekarang. Lo balik aja. Sekalian baca lagi kontrak yang udah gue tandatanganin. Ada satu yang lo langgar dan ada satu yang gue minta buat dilakuin. Makasih udah repot-repot ke sini." Zora membaringkan tubuhnya membelakangi gue.

Gue tahu apa yang dilanggar dan tahu apa yang dia minta. Gue mencampuri urusannya, yang artinya gue melanggar satu aturan dan dia merasa terganggu dengan hal tadi sehingga dia menegur gue secara halus dengan memberi satu permintaan untuk gue lakukan.

Gue mengikuti permintaannya, meninggalkan dia sendiri di UGD yang masih ramai meski jam sudah menunjukan pukul 11.00. Dia benar-benar sendiri. Gue enggak menemukan siapa pun di sekitarnya. Bagaimana bisa perempuan seperti dia menghadapi semuanya sendirian.

Sebenarnya gue enggak benar-benar meninggalkannya. Gue cuman mencari minuman di kafetaria rumah sakit yang menyediakan banyak makanan dan minuman instan. Gue memilih kopi instan yang dibeli dengan harga lima ribu satu gelasnya.

92 Almost ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang