13

40 4 2
                                    

Zora

Hari ke delapan setelah kepulangan gue dari rumah sakit, gue baru bertemu dengan Hanan. Gue dan dirinya udah mulai mengurangi intensitas bertemu, berbicara bahkan hanya bertukar pesan pun udah jarang dilakukan. Kalau seperti ini, gue makin merasa dekat dengan perpisahan. Perpisahan yang akan terjadi 5 hari lagi.

Agenda gue hari ini cuman melihat keadaan mobil gue di bengkel. Setelah kejadian di tanggal 12 kemarin, gue memang langsung menaruh mobil gue di bengkel untuk diperbaiki. Gue pribadi enggak tau seberapa parah kerusakannya, semua mengenai perbaikan mobil gue diurus sama Mas Cio.

Gue menunggu Hanan dengan duduk di teras rumah. Gue enggak tau sejak kapan pot-pot bunga di taman depan tersusun rapih, gue juga enggak tau sejak kapan rumput liar yang tumbuh di antara rumput gajah mulai dibabat, gue juga enggak tau sejak kapan tiang-tiang kanopi yang terbuat dari besi ini dicat ulang. Sepertinya gue terlalu jadi anak rumahan yang sukanya diem di kamar seminggu ini.

Paling ini gak jauh dari kerjaannya Dion. Siapa lagi yang sepeduli ini sama gue kalau bukan dia? Gabut banget ya orangnya. Jadi makin sayang sama Dion.

Sepuluh menit lamanya gue duduk di teras sampai ada sebuah mobil SUV berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah gue. Gue langsung menghampirinya dan masuk ke dalam mobil.

Hanan mengenakan kaus hitam dan jaket yang senada warnanya. Pakaiannya seperti biasa, selalu simpel meski saat dipakainya akan kelihatan lebih menonjol. Dia masih memakai parfum yang sama sejak pertama kali gue bertemu dengannya di laboratorium kelas pertama mata kuliahnya Bu Yusi. Parfum yang khas seperti hanya dibuat untuk dirinya.

"Rapih banget mau ke bengkel pake kemeja segala?" Dia mengomentari pakaian gue hari ini ternyata. Emang keliatannya rapih banget buat main ke bengkel. Gapapa, yang penting gue merasa cantik hari ini.

"Gapapa, yang penting cantik."

"Iya cantik."

Gue enggak merespon apa-apa. Mencoba biasa seperti dulu. Saat pertama kali dia memanggil gue seperti itu.

"Rusaknya parah ya? Sampe lama banget di bengkelnya." Hanan bertanya saat kendaraan terhenti karena lampu merah di Jalan Pajajaran. "Enggak tau. Gue belum liat dari abis kejadian."

"Terus yang urus siapa? Dion?"

"Dion mana ngerti masalah ginian. Ada temen gue yang urus, Mas Cio."

Dia mengangguk dan memilih bernyanyi mengikuti musik yang terputar di tape. Suaranya enggak buruk-buruk banget meski enggak bagus juga. Termasuk normal karena masih tau nada.

Perjalan lumayan lama, sekitar 30 menit karena macet yang enggak gue tau apa penyebabnya. Gue sampai di bengkel tepat pukul 11.00. Gue mencari seseorang sesuai dengan yang dibilang sama Mas Cio. Hari ini Mas Cio enggak bisa nemenin gue liat mobil. Biasalah budak corporate yang enggak punya banyak waktu luang.

"Permisi, mau tanya ada Mas Ian gak ya?" Gue bertanya ke salah satu pekerja di sini. Keliatannya sih lagi memperbaiki kaki-kaki dari sebuah mobil. Diliat dari benda yang dia bawa.

"Ke belakang aja Neng. Neng yang punya mobil balap ya?" Gue mengangguk sebagai respon dan mengikuti arahannya setelah mengucapkan terima kasih.

Hanan hanya mengekori gue di belakang. Dia banyak diamnya hari ini. Enggak seperti biasanya, tapi gue enggak masalah dengan itu.

"Mas Ian?" Gue menyapa seorang laki-laki yang kelihatan umurnya beberapa tahun di atas gue. "Iya, saya. Mbak Zo ya? Yang dibilang sama Bang Cio."

"Iya, Mas. Mobil saya gimana ya?" Gue melihat keadaan mobil gue yang sepertinya sudah hampir selesai.

92 Almost ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang