Zora
Satu minggu ini Hanan beneran berperan sebagai pacar. Dia sering menawari tebengan untuk mengantar gue pergi, sering mengirim makanan saat gue bilang di rumah sendiri, sering juga mengatakan gue untuk hati-hati kalau gue mau balapan.
Aneh, aneh banget. Gue yang enggak biasa diperlakukan seperti ini merasa semakin aneh. Untuk apa dia seperti ini? Ada maksud apa dia seperti ini? Gue benar-benar enggak ngerti.
Kebetulan kuliah gue di semester ini udah selesai. Artinya libur semester udah menghampiri gue. Makin gabut aja nih kayaknya gue. Diam enggak ngapa-ngapain di rumah, sendirian.
Gue bangun lumayan pagi hari ini. Enggak tau kenapa, tiba-tiba kebangun di jam 8 pagi. Padahal biasanya gue bangun jam 10. Kayaknya gara-gara lapar, gue baru ingat kalau gue enggak makan semalem.
Gue baru aja bersiap buat cari sarapan, tapi bunyi bel mengalihkan semua perhatian gue. Siapa nih pagi-pagi udah bertamu. Gak mungkin Dion karena Dion lagi pergi ke Semarang, ke rumah tantenya.
"Pagi, Zora." Tebak siapa? Yap, betul. Dia Hanan. Hanan yang bertamu sepagi ini dengan pakaian yang lumayan rapih meski hanya menggunakan kaos. "Ngapain pagi-pagi namu?" Gue masih berdiri di depannya, enggak mempersilahkan dia masuk ke dalam.
"Temenin gue cari jas yuk." Dia duduk di kursi yang terletak di teras rumah tanpa gue suruh. Gapapa Han, untung lo tamu. "Jas hujan?" Iseng aja mau ngeledek padahal gue tau jas yang dia maksud adalah jas untuk wisudanya. "Gak jadi deh, gue pergi sendiri aja." Gue ketawa sambil menahan dia yang benar-benar hampir bangkit dari kursi.
"Gak usah pundung. Tungguin, gue mandi dulu."
"Udah sarapan?" Dia menahan tangan gue yang mau masuk kembali ke dalam rumah. "Belum, tadinya baru mau nyari."
"Yaudah gih mandi. Pake kaos aja ya, kayak gue." Gue mengangguk dan meninggalkan Hanan di teras sendirian. Gue enggak tau sih tujuannya ke mana, gue cuman ngikutin instruksinya buat pakai kaos.
Gue enggak mengira kalau akan memakan waktu 45 menit buat siap-siap. Masalahnya, Hanan gue tinggal enggak dengan makanan atau minuman. Kasihan anak orang, takut kehausan atau kelaparan. Gue langsung terburu-buru keluar buat melihat Hanan. Takut pingsan atau dehidrasi, kan gak lucu.
"Makan dulu nih, biar nanti langsung berangkat." Hanan menarik satu kursi di sampingnya untuk gue duduk dan membukakan sebungkus ketoprak. "Gue enggak tau lo suka pedes apa enggak, tapi pas kemaren di tukang soto lo pake sambel lumayan banyak. Jadi gue anggep lo suka pedes. Ini ketopraknya sedeng, lo gak ada alergi sama ketoprak kan?"
Gue cuman menggeleng sebelum menerima sendok yang Hanan berikan. Gue masih sedikit kaget dengan perlakuan Hanan. Sama pacar bohongannya aja dia selembut ini, gue jadi penasaran gimana dia memperlakukan pacar benerannya.
Gue menikmati sarapan pagi ini ditemani Hanan. Dia enggak makan, mungkin udah atau emang dia bukan orang yang harus sarapan. Ketoprak yang dia beli enak banget. Gue gak tau dia beli di mana tapi yang pasti enggak mungkin jauh dari daerah rumah gue.
Setelah selesai dengan makanan gue, gue dan Hanan langsung pergi menggunakan motornya. Hanan seneng banget motoran, gak tau kenapa. Enak juga sih, lebih cepet karena bisa nyelip-nyelip kalau lagi macet.
"Ke stasiun?" Gue melepaskan helm setelah turun dari motor Hanan yang sekarang udah terparkir rapih di stasiun. "Iya, naik KRL aja ya. Bawa kartunya kan?" Hanan mengambil helm dari tangan gue untuk dia simpan. "Ada, tapi isi saldo dulu. Kemarin habis."
"Sini, gue isiin." Hanan meminta kartu gue, kemudian dia tempelkan pada handphonenya. "Makasih, Han." Ucap gue setelah Hanan mengembalikan kartu milik gue. "Sama-sama." Dia tersenyum singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
General Fiction"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...