Hanan
"Jangan ninggalin alat-alat di wastafel, cuci semuanya. Ini beaker glass kelompok siapa? Rapihin, jangan ditinggal."
Setiap hari Senin dan Kamis gue selalu menghabiskan waktu gue di Laboratorium bersama dengan mahasiswa yang diajar oleh Bu Yusi. Sebagai asisten dosen, gue bertugas untuk membimbing mahasiswa dalam kegiatan praktikum. Terutama jika Bu Yusi sedang disibukan dengan kegiatan lain.
Gue cukup tegas untuk seorang asdos. Banyak sumpahan dari mahasiswa atau mahasiswi yang gue dengar. Gue sendiri enggak peduli, itung-itung habisin dosa gue yang gak sedikit ini.
Biasanya gue akan ditemani rekan gue yang sama-sama menjadi asisten dosen, namun hari ini dia berhalangan dan akhirnya gue sendiri yang harus menghandle 2 kelas praktikum hari ini. Lumayan capek, tapi seru juga lihat mereka yang antusias belajar hal baru. Asal enggak ada yang macem-macem aja, kayak kebakaran misalnya.
Selain menjadi asisten dosen, gue juga sebagai mahasiswa akhir yang sedang menunggu jadwal sidang. Sidang gue sepertinya akan lumayan mepet dengan target wisuda yang udah gue rencanakan. Dua teman seperjuangan gue udah sidang dua minggu yang lalu. Sekarang mereka lagi sibuk revisi dan nunggu wisuda.
Mereka sering nanya ke gue, hidup sebagai asisten dosen dan mahasiswa apa berat. Mereka juga sering nanya ke gue, apa gue kelelahan lakuin dua aktivitas ini. Mereka juga sering nanya ke gue, apa motivasi gue buat jadi asisten dosen.
Mereka bertanya karena jelas tau bahwa kuliah gue ini bukan tujan yang benar-benar gue inginkan. Ibaratnya, gue terpaksa masuk ke dalam gua yang enggak gue tau bagaimana dalamnya. Gue terpaksa masuk karena salah pilih program studi saat tes masuk. Kalau kata Gio sih bego.
Sebenarnya udah optimis kalau nilai gue enggak akan cukup untuk masuk di universitas ini, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Gue lulus dengan nilai yang enggak jelek-jelek amat. Lumayan lah, buat yang ngejawab hampir seluruhnya ngeblok.
Udah terlanjur nyebur gini, kalau gue enggak berusaha buat ngapung apa enggak makin tenggelam gue? Jadi satu-satunya yang gue lakuin cuman usaha buat enggak semakin dalam tenggelamnya.
Kalau ditanya, ya jelas berat. Gue dituntut untuk pintar membagi prioritas dan waktu. Belum lagi kalau ada jadwal yang bertabrakan.
Buat gue sendiri, ini jadi salah satu kegiatan yang banyak menguras pikiran dan emosi gue. Emosi gue jadi enggak menentu. Kadang baik banget, manis banget kaya gula. Kadang juga bisa mode senggol bacok apalagi kalau enggak sesuai dengan yang gue targetkan.
Gue memang memasang banyak target di hidup gue. Target-target yang harus tercapai, target-target yang harus berjalan sesuai dengan yang tertera. Bahkan untuk diri sendiri, gue sangat tegas.
Tapi gue yakin di dunia ini yang menjalani hidupnya seperti ini enggak hanya gue. Banyak orang lain yang bahkan lebih ekstrim dalam mengatur targetnya. Bukan untuk paksaan, tapi untuk memacu agar bisa bekerja secara maksimal.
Kembali ke kegiatan gue, hari ini udah hampir 2 jam gue di Lab. Enggak ada bosan-bosannya karena gue harus mengawasi mahasiswa yang sedang melalukan praktek di alat bernama Laminar Air Flow Cabinet atau LAFC.
Alat ini memerlukan konsentrasi penuh dari penggunanya. Alat ini biasanya digunakan untuk melakukan kegiatan yang memerlukan tingkat kesterilan yang tinggi. Hari ini, LAFC digunakan untuk praktikum kultur jaringan di mata kuliah Pengantar Bioteknologi Tanaman.
"Hati-hati sama alat yang digunain. Alat yang panas habis di bunsen jangan dimasukin ke alkohol, nanti kebakar." Berkali-kali gue memberi instruksi untuk berhati-hati. Padatnya laboratorium dengan mahasiswa membuat gue khawatir informasi yang gue sampaikan enggak dapat diterima dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
General Fiction"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...