Zora
"Take care ya adek pas pulang. Ayah pulang dua minggu lagi gapapa? Beresin kerjaan ayah dulu di sini." Ayah mengantar gue ke hotel setelah sesi sedih-sedihan dan makan malam selesai.
"Iya ayah, yang penting ayah pulang. Hati-hati ya pulangnya." Gue menyalami tangan ayah dan bergegas turun dari mobil. Ada satu orang yang ingin gue temui secepat mungkin. Meski gue enggak tau apa dia ada di hotel atau malah masih di luar, pergi sendirian.
Gue mengetuk pintu kamar Hanan dengan tempo yang lumayan kencang. Lebih ke arah gak sabaran kayak orang mau nagih hutang. Sekenceng ini gue ngetok, tapi kenapa enggak ada sautan dari dalam. Belum pulang kali ya orangnya?
"Ngapain di situ?" Baru aja gue mau menelepon tapi suaranya udah gue dengar lebih dulu. "Gimana? Lancar?" Dia bertanya lagi sambil terus berjalan mendekat.
Gue enggak menjawab, berjalan mendekat ke arahnya dan memeluknya sekilas. Sepertinya kata terima kasih yang udah sering gue ucap padanya enggak cukup buat menggambarkan betapa berterima kasihnya gue pada dirinya.
Saat gue mundur beberapa langkah darinya, tangan gue ditarik dan gue kembali merasakan pelukan darinya. Peluknya masih sama seperti saat pertama kali gue memeluknya. Dia masih mengusap punggung gue halus, seakan menangkan dan berkata kalau dunia gue akan baik-baik aja. Harum parfumnya juga masih sama, parfum yang selalu mengingatkan gue tentangnya.
"Berhasil ya? Selamat ya, Ra. Selamat udah berhasil menurunkan ego lo, selamat udah memperbaiki hubungan yang seharusnya enggak pernah memburuk. Ra, cukup ya rasa kecewanya, udah cukup lo pendem selama ini. Lo harus bahagia, bahagia dengan hidup yang emang enggak akan selalu indah tapi tetap istimewa."
Han, kalau lo enggak bisa gue miliki sepenuhnya, bisa enggak lo enggak perlu memperlakukan gue kayak gini? Apa yang harus gue lakukan kalau nanti lo udah enggak ada di hidup gue lagi.
Gue bertahan dalam posisi ini cukup lama. Rasanya berat kalau ingat besok tepat 92 hari gue menjadi pacarnya, yang artinya hari terakhir hubungan ini ada.
Kalau gue boleh nawar, gue mau ada dia di sisa hidup gue. Gak boleh cuman jadi temen biasa, gue mau jadi lebih dari biasa, spesial misalnya, bisa gak ya?
"Nyaman ya, Ra? Mau lepas kapan nih? Besok?" Gue langsung menjauh dari dirinya. Emang gini orangnya, tetep ngeselin di kondisi apapun. Mana mukanya ngeledek banget lagi. Pengen gue getok pake palunya Thor bisa gak ya?
Senyum ngeledeknya masih ada di sana. Enggak ilang-ilang padahal gue udah masang muka galak. Beneran gue pukul aja kali ya orangnya, biar amnesia sekalian.
"Makasih, Han. Buat semua yang udah lo lakuin hari ini dan kemarin. Kalau enggak ada lo, kayaknya gue sama ayah masih perang dingin sampe sekarang. Makasih banyak, Han."
Akhirnya kata terima kasih keluar dari mulut gue. Kalau ada kata yang lebih dari kata terima kasih, sepertinya kata itu cocok gue ucapkan ke Hanan.
"Sama-sama, Zora. Bye the way besok berangkat pagi ya. Biar enggak telat sampai bandaranya."
KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
General Fiction"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...