Zora
Gue menyiapkan semua keperluan yang gue butuhkan saat di Sentul nanti. Ini akan jadi balapan kedua gue yang dilakukan di malam hari. Kali pertama, gue mengalami kecelakan, mari berdoa semoga yang kali ini enggak terjadi apa-apa.
Gue membawa pelindung tubuh masuk ke dalam mobil. Menata semuanya dengan rapih di dalam. Enggak lupa dengan teh hijau yang gue buat dalam tumbler. Tumbler yang gue bawa ini sama seperti yang gue beri ke Hanan saat wisudanya kemarin.
Gue sempat mengecek handphone sebentar. Melihat pesan-pesan yang masuk. Salah satunya Mas Cio yang bertanya kapan gue datang. Gue enggak membalasnya dan langsung menjalankan mobil ke Sentul.
Gue selalu suka perjalanan malam. Lampu-lampu jalanan, suasana malam yang dingin tapi juga hangat di saat bersamaan, ramainya jalanan karena orang-orang yang hendak berpergian ataupun pulang sehabis beraktivitas. Gue suka ramainya jalanan di malam hari. Apalagi kalau ditemani lagu yang mendukung suasana. Rasanya lebih tenang.
Gue melewati beberapa tempat yang sering gue datangi dengan Hanan. Ada kenangan yang teringat gitu aja. Gimana Hanan memperlakukan gue dengan baik, gimana lelucon Hanan yang enggak lucu tapi tetep bisa buat gue ketawa, gimana jailnya Hanan yang bisa bikin gue langsung naik darah.
Ada banyak ingatan tentang Hanan yang sering kali mencuat gitu aja di pikiran gue. Padahal gue enggak tau apa yang sekarang lagi dia pikirkan. Gue pernah ada dipikirannya atau enggak ya?
Malam ini jalanan lumayan ramai. Beberapa titik mengalami kemacetan yang akhirnya menghambat perjalanan gue. Kayaknya gue bisa dapet protes dari Mas Cio nih kalau dateng telat. Dia kan anaknya on time banget.
Balapan kali ini gue enggak lagi berhadapan dengan Fathur. Dia lagi sibuk mempersiapkan pertandingannya di Bali bulan Oktober nanti. Gue akan berhadapan dengan Rhea malam ini. Seorang data analyst dan sama-sama seorang perempuan. Kak Rhea udah lumayan lama enggak ke sirkuit, gue juga enggak terlalu kenal dengannya karena jarang berinteraksi.
Gue sampai di Sentul pada pukul 10.15, terlambat 15 menit dari waktu kumpul yang ditentukan. Gue menghampiri Mas Cio yang lagi ngobrol dengan beberapa teman yang lain. Dia masih dengan celana bahannya yang bikin kelihatan kalau dia beneran orang sibuk.
"Ganti seragam lo pake baju santai kali kalau mau ke sirkuit." Gue langsung berbicara tanpa menyapanya lebih dulu. "Biarin. Tumben telat?" Dia menyentil dahi gue pelan.
"Macet, kali ini beneran macet. Kebun Raya rame tuh."
"Mobil lo udah aman?" Dia melihat ke arah mobil gue terparkir. Udah ada di arena ternyata, mungkin ada yang memindahkannya tadi.
"Aman, udah dicek semuanya. Makasih ya udah bantu urus selama di bengkel."
"Lo juga udah sehat? Udah baik kan bener? Gue gak mau ada kejadian kayak kemarin lagi. Mending lo nonton aja sekarang, ya?"
Gue menatapnya malas. Kenapa jadi gini? Padahal dia yang mengajak gue untuk melakukan balapan malam ini.
"Kan lo yang ajak, masa tiba-tiba jadi penonton?"
"Apa salahnya jadi penonton? Gak ada yang salah. Mau?"
"Enggak. Gue mau main."
Ada helaan napas darinya. Enggak terlalu dalam, tapi sepertinya cukup berat. Lagian kenapa harus sesusah itu melepaskan gue, padahal gue udah biasa main di sini.
"Janji sama gue buat enggak kenapa-napa?"
"Janji."
Gue melakukan pinky promise dengan Mas Cio. Dia belum setenang itu tapi enggak sekhawatir sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
General Fiction"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...