03

68 6 0
                                    

Hanan

Sekarang gue mengerti kenapa Bu Yusi sering banget emosi sama mahasiswi bernama Zora Nyran Zaylee. Namanya cantik sih, orangnya juga cantik. Tapi sikapnya bisa bikin orang geleng-geleng.

Saat gue ancam nilainya akan gue minus 10, dia langsung setuju gitu aja. Enggak ada pembelaan, apalagi permohonan untuk membatalkan minusnya. Kesannya pasrah banget.

Gue udah berkonsultasi dengan Bu Yusi masalah Zora dan Bu Yusi juga enggak keberatan dengan pengurangan nilai dari tugas-tugasnya. Syukurnya Zora benar-benar mengirim tugasnya seperti yang dia katakan tadi. Tugasnya bagus, bahkan lebih bagus dari teman-temannya tapi karena keterlambatannya, tugas-tugas ini enggak bisa mendapatkan nilai yang seharusnya bisa didapatkan. Hanya karena keteledorannya.

Mood gue sedikit berantakan siang ini. Masalah LAFC yang hampir menyebabkan kebakaran satu laboratorium, tugas Zora, dan sepertinya gue akan mulai disibukan dengan penginputan nilai menjelang masa UAS. Belum lagi jadwal sidang gue yang akan dilaksanakan bulan Juni nanti sehingga memerlukan kesiapan yang ekstra untuk mempersiapkannya.

Kalau udah gini, gue cuman bisa balikin suasana hati dengan berbincang bareng Jo sama Gio. Dua sahabat gue dari SMA. Orang yang hidupnya sama lempengnya dengan gue. Bedanya mereka berdua sudah jelas jalan hidup pekerjaannya, kalau gue masih harus berjuang sendiri di dunia pekerjaan menunggu keputusan bokap buat narik gue keperusahaannya atau enggak.

Gue menjalankan kendaraan gue ke salah satu rumah besar yang jaraknya enggak begitu jauh dari sekolah vokasi. Kata Jo, Gio juga ada disana. Gue tebak mereka lagi main catur atau main monopoli.

Udah gabut banget dua orang itu. Udah sidang, sebentar lagi akan resmi dengan gelar sarjananya masing-masing setelah wisuda. Beda sama gue yang masih nunggu sidang, ngebut revisi, lalu tetek bengek lainnya dan baru bisa tenang mikir wisuda.

Rumah Jo tipikal rumah besar milik keluarga konglomerat pada umumnya. Di depannya terdapat ruangan untuk penjaga dan taman besar berisi tanaman-tanaman cantik yang tumbuh subur serta kolam ikan berukuran cukup besar. Untuk masuk ke dalam rumah harus melalui beberapa anak tangga yang lumayan bikin capek.

Gue melangkahkan kaki memasuki rumah setelah dipersilahkan oleh pekerja di sana. Rumah ini adalah rumah keluarga Jo berlibur. Keluarga Jo aslinya tinggal di daerah Jakarta Utara.

Ketebak belum sekaya apa keluarganya? Kadang gue masih ngerasa minder kalau temenan sama Jo. Gue yang jajan cilok tiga ribu masih pake mikir sedangkan dia yang bisa beli cilok segerobak kalau dia mau. Agak kebanting ya?

"Jo, Gi, cariin gue cewek dong. Mau wisuda masa enggak ngegandeng orang." Gue langsung mendudukan diri di tengah-tengah mereka yang lagi main monopoli. Umur boleh tua, tapi mainan tetep monopoli.

"Nafas dulu anjir. Baru dateng udah minta cewek." Jo enggak melihat ke arah gue. Dia fokus pada permainan monopoli dengan Gio. Mereka sama-sama ambis, gak mau ngalah kalau udah main game. Jadi diemin aja udah.

"Habis kesurupan apa lo tiba-tiba pengen punya pacar? Stres ya lo?" Gio baru saja membeli rumah milik Jo. Tenang, bukan rumahnya beneran tapi rumahnya di monopoli. Kelihatan banget muka ngeledeknya, sedangkan Jo cuman masang muka asem.

"Iya. Capek gue, hari ini ada aja yang bikin emosi. Lab hampir kebakaran, si Zora rese, sidang yang gak jelas. Emosi gue." Meluap juga kan akhirnya. Untungnya Jo udah sedia soda yang jadi minuman favorit gue kalau lagi stres.

"Pacarin aja Zoranya, siapa tau enggak rese lagi. Mayan juga dapet cewe kan?" Gio emang kadang tolol kalau ngasih ide. "Tolol." Jo memberi toyoran yang lumayan keras ke kepala Gio. Bener Jo, emang tolol anaknya.

92 Almost ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang