Zora
"Ikut gue jalan-jalan yuk sekalian perpisahan. Ke Samarinda, besok."
Kurang lebih Hanan bilang kayak gitu semalam dari telepon. Gak ada angin, gak ada hujan tiba-tiba dia ngajak gue pergi ke luar kota gitu aja. Sinting kan anaknya?
Lebih sintingnya, gue enggak dapet pilihan lain selain mengiyakan. Ucapannya semalam juga bukan tawaran, lebih ke paksaan.
Di sini gue sekarang, duduk menunggu saatnya masuk ke pesawat di terminal tiga Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Diam sambil melihat keramaian. Enggak ada hal lain yang bisa gue lakukan, terlalu malas juga buat main handphone.
"Nih matcha latte." Hanan memberikan gue segelas matcha latte dari tangan kanannya, sementara tangannya yang lain memegang ice americano. Ini dia yang berbaik hati membelikan gue minuman. Act of servicenya memang top deh. "Makasih."
Gue masih sedikit sebal karena Hanan yang tiba-tiba mengajak gue pergi di H-1. Sedangkan orangnya malah biasa-biasa aja, enggak menunjukan tampang bersalahnya. Orang aneh.
"Nanti sampai di sana kita enggak pergi jauh-jauh ya, capek. Tanggal 28 sampai 29, kita pergi ke Pulau. Tanggal 30 dinner. Tanggal 31 pulang. Jelas?" Gue cuman mengangguk.
Hanan tipe orang yang tertata. Buktinya, di liburan yang sedadakan ini dia udah punya target hal-hal yang akan dilakukan selama di sana. Untungnya, gue jadi enggak perlu sibuk mikirin semuanya.
"Maaf ngedadak ya, semoga lo seneng. Itung-itung ucapan terima kasih juga dari gue karena lo bersedia jadi pacar bohongan gue." Lagi, gue cuman mengangguk. Terlalu malas meresponnya.
Pesawat take off di pukul 13.30. Perjalan yang gue tempuh kurang lebih 3 jam 45 menit. Gue akan sampai di Samarinda pada sore hari. Gue enggak tau akan pergi ke mana sama Hanan nanti. Gue enggak banyak ikut campur dalam destinasi wisata ini. Lebih ke enggak mau merepotkan diri sendiri sih.
"Tidur, Ra." Hanan menegur gue yang asik melihat ke jendela. Padahal yang gue lihat cuman awan tapi entah kenapa gue bisa merasa serileks ini. "Lagi banyak awan, gemes."
Gue enggak menyangka kalau Hanan akan ikut melihat ke arah jendela. Muka gue sama mukanya sekarang bersebelahan. Ini kalau gue nengok kayaknya hidung gue bisa langsung bersentuhan sama pipinya. Gue cuman bisa diem, mati kutu. Kaget banget, gila. Hanan, lo sinting sih.
"Iya, awannya banyak. Tapi mendingan lo tidur daripada nengok ke jendela terus, nanti leher lo sakit. Gue gak mau ribet sama keluhan lo selama di sana." Hanan kembali menyenderkan dirinya ke kursi. Memasang earphonenya lagi dan lanjut menonton film yang udah dia pilih sebelumnya.
Han, menurut lo gue bisa tidur setelah kelakuan lo tadi? Ya jelas enggak lah. Gue malah jadi kayak orang gila, deg-degan gak karuan. Padahal cuman gitu doang. Ini yang pantes gue katain sinting siapa ya? Gue atau Hanan?
Setelah kejadian di pesawat tadi, gue berhasil juga maksain diri buat tidur. Meski baru nyenyak gak lama sebelum landing.
Gue dan Hanan sampai di Samarinda sore hari dengan disambut langit yang berwarna oranye. Bawaan gue dan dia enggak terlalu banyak, tapi tetep aja memakan waktu lama karena harus menunggu bagasi.
"Gue udah rental mobil, bentar ya nyari orangnya dulu. Jangan kemana-mana, nanti ilang. Nitip koper ya." Hanan langsung meninggalkan gue gitu aja dan langsung membelah keramaian di bandara dengan cepat.
Gue langsung merasa familiar sama bandara ini, Bandar Udara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. Bandara yang sering gue datangi beberapa tahun lalu. Enggak banyak yang berubah, haya ada beberapa pembaruan yang gue lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
92 Almost Forever
General Fiction"Kalau akhirnya lo yang jatuh lebih dulu, lo harus pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue." "Deal." Hanan, seorang asisten dosen di salah satu prodi sekolah vokasi ternama yang hidupnya hanya berjalan sesuai dengan target yang telah dia buat. Terkesa...