Bab 18 | Dingin di Hati Mishall

1.5K 119 15
                                    

Rentetan ketukan di daun pintu, selalu mencegah Chandra memejam dengan tenang. Selain Mishall, Tristan juga sangat hobi mengganggu ketenangan pikirannya.

"Woe, anjing! Lo berdua kalau cuman numpang nge-s*x, ngapain di rumah orang, anjir! Bangun lo pada! Pintu nggak dikunci, kampret! Gue masuk, nih!"

Gerutuan Tristan sangat mudah memancing emosi. Sebelum Shila bangkit untuk menyerang, Chandra sudah melepas sepatunya lebih dulu, melempar ke arah pintu, yang kemudian mendapat makian lanjutan dari si pemilik rumah.

"Anjir! Anjir! Udah pake rumah orang, nggak sopan lagi! Kalian berdua gue usir dari rumah! Cepetan keluar, atau gue buka pintu!" Tristan memainkan ancamannya dengan memutar-mutar kenop pintu. "Gue kasih waktu 10 menit, kalau nggak keluar juga, gue ... beneran bakalan buka pintu, dan biarin pengurus rumah gue nontonin kalian berdua!"

Setelah itu, sentakan sandal Tristan terdengar menjauhi pintu kamar. Shila ikut bangkit dari posisi berbaringnya, untuk mengenakan pakaian secepat mungkin.

"Kenapa?" tanya Shila, saat ia masih sibuk memeriksa beberapa pakaiannya, sebelum diloloskan ke kepala. "Nggak biasanya kamu lepas kendali kayak tadi." Ia turut memicingkan mata penasaran.

Chandra ikut meninggalkan bantal. Mengusap tengkuknya secara kasar, ketika ia mendapati dirinya bingung memberikan alasan. Tidak mungkin ia jujur, bahwa ia dipengaruhi oleh keraguan Mishall mengenai perasaan Chandra, sehingga ia langsung ingin membuktikan bahwa ia benar-benar mencintai Shila, bukan karena kekayaannya.

Namun, itu adalah jawaban tergila, dan mungkin akan menjadi kalimat terakhir Chandra sebelum dibunuh Shila, jika ia berani mengatakan hal itu.

"Chandra ... pakaian aku nggak bisa nutup bekasnya." Keluhan Shila segera mengalihkan pikiran semrawut Chandra.

Perempuan ini benar. Potongan pakaian atas Shila membentuk V-neck, sementara Chandra memberikan tanda kepemilikannya di atas dada, tepat bagian tengah kulit Shila.

"Aku nggak bawa foundation atau bedak ke sini buat nutupin," lanjut Shila.

"Nggak usah ditutup." Chandra memberi usul dengan tenang. Ia mendekat, dan mengusap bekas merah yang sengaja ia tinggalkan itu. "Biarin semua orang tahu, kalau aku cinta kamu."

"Tapi ... malu-maluin banget ...."

"Sejak kapan istri aku ini peduli penilaian orang lain, hm? Jangan dengerin ucapan orang-orang. Ini tanda kepemilikan aku di kamu."

Shila diam sejenak, lalu mengangguk berat. Ia berdiri menggunakan lututnya, mendekat pada Chandra, untuk ikut mengisap leher pria itu, disertai beberapa gigitan. Entah sekuat apa, tetapi saat melihat bibir pink Shila dihiasi cairan berwarna merah ketika menjauh, dan rasa perih di bekas Shila mencium Chandra tadi; sudah memberitahu pria itu, bahwa kulitnya sekarang ini terbuka dan berdarah.

"Nggak terlalu parah kok." Shila tersenyum tanpa merasa bersalah ketika mengusap bekas gigitannya. "Ini sempurna," bisiknya rendah.

Meski ritual memberi kissmark sudah selesai, Shila masih enggan melepaskan tangannya dari pundak Chandra. Kelengketan tubuh atletis suaminya yang setengah berkeringat setelah kegiatan mereka tadi, terlalu sulit untuk ditinggalkan. Shila tersenyum semakin lebar, dengan kepala sedikit miring ke samping.

"Kamu cemburu sama Arfan?" tanya Shila, tiba-tiba.

"Arfan?" Chandra bingung sebentar. Ia bahkan hampir lupa mengenai masalah itu. Segera, Chandra menemukan alasan yang tepat mengapa ia menyeret Shila ke tempat ini. "Jelas, aku cemburu sama dia. Kamu nggak biasanya deket sama cowok lain selain aku sama Pak Anwar. Bahkan, temen-temen Papa kamu aja, kamu nggak sedeket kayak interaksi kamu sama Arfan tadi."

Siswiku CandukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang