Chapter9

58 8 1
                                    

"Apapun niat baikmu, semoga Allah permudahkan."

-Adinda-




°°°

Sedari tadi Adinda sibuk mondar-mandir di depan ranjangnya. Dengan tangan mengepal di depan dada seraya menggigit bibir bawahnya, Adinda memikirkan kabar yang Abinya sampaikan dua hari lalu.

"Tenang dinn! Tenang oke, duh kenapa jadi gelisah lagi kaya gini sih" ucapnya lalu duduk di bibir ranjang.

"Astaghfirullahalazim" imbuh Adinda memejamkan mata seraya memukul pelan kepalanya.

CEKLEK!

Pintu kamar Adinda terbuka menampilkan sosok wanita terhebatnya, Umi Syifa. Adinda lekas berdiri dengan bibir yang ia paksa lengkungkan.

"Adinda, kamu kenapa sayang? Lagi ga enak badan nak?" ucap umi Syifa dengan nada khawatir. Lalu menempelkan punggung tangannya ke kening putrinya.

"Tapi ga panas" sambung umi syifa.

"Adinda ga sakit umii" beo Adinda dengan wajah yang seperti sedang gelisah.

"Kamu kenapa sayang, muka kamu ga kaya biasanya, ada yang lagi kamu pikirin?" Tanya umi Syifa lembut. Putrinya akan terlihat berbeda jika sedang memikirkan sesuatu.

"Dinda gapapah ko umi" jawab Adinda tersenyum manis kearahnya.

Bukan seorang ibu jika tidak bisa merasakan. Ia tau Adinda putrinya sedang berbohong, "Udah mulai bohong sama umi sekarang?, udah ga butuh umi lagi hm?, udah ga mau cerita apa-apa lagi sama umi?" cecar umi syifa memancing.

Adinda diam tidak menjawab. Sedetik kemudian ia berhambur memeluk umi Syifa. Ditanya seperti itu membuat ia tidak bisa menahan, air matanya luruh begitu saja.

"Adinda sayang, hei kenapa ko kamu nangis?" Umi syifa nampak keheranan namun juga khawatir.

"A-adinda, Adinda ga tau apa Adinda bisa tinggal tanpa abi, umi dan abang nanti" Adinda berbicara dengan sesegukkan tanpa melepas pelukkannya.

Umi syifa terkekeh pelan. Ia lega ternyata Adinda gelisah akan soal ini bukan soal lain. Ya, dua hari lalu keluarga Raffa mengabari mereka lagi. Mengabari bahwa acara pernikahan putra putrinya akan di langsungkan minggu ini, mereka juga sudah mengetahui apa alasannya. Tak hanya itu, ternyata keadaan Raffa pun sudah membaik dan mulai bisa berjalan kembali. Tentu mereka sangat bersyukur mendengarnya.

Umi syifa mengelus sayang punggung Adinda. Entahlah, padahal usia putrinya sudah remaja bahkan sudah akan menjadi calon istri, namun di mata umi syifa Adinda ya Adinda, putri kecilnya yang manja.

"Jadi, kamu gelisah memikirkan ini nak?" tanya umi syifa. Adinda mengangguk.

"Apa kegelisahan kamu pertanda kamu belum siap?" tanyanya lagi. Adinda nampak diam sesaat, lalu menggelengkan kepalanya.

"Bukannya, putri kesayangan umi ini udah bilang kalo udah siap dan udah mantap hm?" Adinda mendongak melonggarkan pelukannya.

"Umiii" lirih Adinda menatap kedua manik milik uminya.

"Sayang, denger umii, kamu tau kan, jodoh maut rezeki itu berada ditangan Allah, begitu pun sekarang kamu akan menikah, itu artinya jodoh kamu memang sudah dekat nak, dan sudah jelas atas kehendaknya"

"Jangan kamu tangisi dan jangan banyak kamu pikirkan, serahkan semua sama Allah sayang, minta petunjuknya yang terbaik. Menikah itu ibadah sayang"

"Dan soal jarak mau jauh atau dekatnya kamu dengan orangtua, begini nak, perempuan yang sudah dipersunting itu memang biasa jika harus meninggalkan keluarganya, terlebih lagi bila suami yang meminta. Saat kamu menikah nanti, tugas kamu sudah berbeda sayang, umi yakin kamu mengerti soal tugas istri kepada suami. Begitupun tanggung jawab kami terhadap kamu disini yang akan diambil alih oleh suamimu." kata umi syifa panjang lebar begitu lembut memberi pengertian.

RAFFA AFFAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang