Chapter22

43 4 20
                                    

"Masih sama, tidak ada yang berubah."

-Adinda-

°°°

"Minggir Adinda!" Raffa menatap tajam Adinda.

"Engga, kaki kakak sakit" Adinda tidak peduli, ia terus mencekal lengan Raffa agar tidak berdiri.

"Adindaaa!" menepis kasar tangan Adinda, Raffa berdiri mendorong tubuh Adinda agar menjauh. Namun.

BRAKK!

"Awh!"

"Ahk!"


Raffa yang sudah berdiri sempurna kembali tumbang ke atas kasur dengan Adinda yang ikut terseret ke atasnya, sebab tangan Raffa yang ingin dia gerakkan untuk mendorong Adinda malah repleks menarik.

Dengan posisi Adinda yang menindih Raffa, Raffa memejamkan matanya saat merasakan rasa ngilu di kakinya. Adinda juga ikut memejamkan matanya saat ia ikut terhuyung,  tanpa ia sadari posisinya dengan Raffa saat ini. Raffa membuka mata, menurunkan pandangan kebawah dagu, ia melihat Adinda berada di atas dadanya dengan mata yang terpejam. Memerhatikan perempuan yang menindihnya dengan lamat, sampai mata yang ia perhatikan mulai terbuka, Raffa tersadar lantas menghempaskan tubuh Adinda tanpa aba-aba.

"Minggir!"

"Eehh" Adinda nyaris saja terjungkal kebawah.

Laki-laki itu langsung mendudukkan dirinya di bibir ranjang, menatap tajam kearah perempuan yang berada di depannya.

"LO SENGAJA MAU BIKIN KAKI GUE SAKIT LAGI HAH?!" Raffa meninggikan suaranya. "LO GA TAU RASA NGILUNYA KAYA GIMANA SIALANN!"

Adinda memejamkan matanya sebentar saat Raffa berteriak, kilat amarah dari suaminya itu seakan ingin menerkamnya. Ia tahu persis bagaimana rasanya, pasti sakit bukan? Apalagi saat ia menindihnya. Tapi bukankah suaminya itu yang memulai? Jika saja Raffa tidak nekat untuk berdiri di dalam kondisinya yang seperti ini, Adinda juga tidak akan mencegah dan berakhir menindih. Tidak ada samasekali dalam pikirannya membuat Raffa merasakan sakit.

"M-maf, Adinda ga sengaja kak maaf" Adinda menunduk, enggan membalas menatap Raffa.

"Pergi lo dari kamar gue" tekannya.

"Tapi kakak belum minum obat" Adinda menyela cepat.

"Pergii!" bentak Raffa dengan tangan menunjuk ke arah pintu.

Perempuan yang masih menggunakan mukenanya itu menggeleng tidak mau. "Engga kakak minum obat dulu baru aku pergi"

"Cabut ga lo" Raffa menatap dingin.

"Kak--"

"PERGI SIALANNNN!" bentak Raffa lagi melempar bantal kecil tepat pada wajah Adinda.

DUKK!

"Astagfirullah.." Adinda memejamkan mata.

Sempat terkejut dengan tindakkan Raffa yang seperti itu, Adinda mengucek kedua matanya kala merasakan perih akibat terkena lemparan bantal.

Adinda mendongak memberanikan diri menatap Raffa dengan mata yang memerah karena perih. Bukan wajah penyesalan yang Raffa berikan, melainkan tatapan yang semakin penuh kebencian.

Tersenyum getir di balik niqab, mati-matian menahan sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya. Siapa yang tidak sakit hati di perlakukan sedemikian rupa oleh seseorang? Terlebih lagi oleh suami sendiri? Katakan dan beritahu Adinda, bagaimana caranya menelan paksa rasa sakit itu agar menjadi sebuah kesabaran.

RAFFA AFFAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang