New Life

725 72 6
                                    






Sendu...
Itu adalah kata yang cocok untuk menggambar keadaan Karina dan Jeno pagi ini, mereka berdua memandangi wajah sang anak yang tampak begitu pucat, baru 1 minggu Jina dirawat di rumah sakit namun banyak sekali perubahan yang terjadi pada anak mereka secara fisik.

Jina begitu pucat, anak itu kehilangan banyak berat badan, sekujur lengan dan kakinya dipenuhi bekas suntikan obat yang setiap hari diberikan dokter pada anak mereka. Karina dan Jeno tidak tega melihat anak mereka yang harus terus mendapat luka suntikan, bahkan kini dokter mulai memasukkan obat melalui sum-sum tulang belakang Jina, dan hal itu tidak akan mungkin tidak sakit tapi anak itu terlihat begitu kuat seakan-akan tubuhnya sudah kebal akan rasa sakit.

Hal inilah yang membuat Karina menangis setiap malam, ia menyesali banyak hal, ia mengira anaknya adalah anak yang manja, ia tidak sadar kalau Jina menjadi dewasa karena keadaan yang ia buat sendiri. Dulu mungkin ia menginginkan Jina yang seperti ini, tidak menangis ataupun merengek padanya tapi kini, ia tersiksa, melihat anaknya berpura-pura kuat dihadapanya menyiksa batinnya sebagai seorang ibu. Ia gagal, ia gagal menjadi ibu yang baik bagi putri bungsu nya, putri yang harusnya mendapat limpahan kasih sayang darinya.

Gadis itu...

Senyumnya tidak pernah luntur, ia selalu tersenyum mencoba menguatkan diri dihadapan kedua orang tua nya. Jeno maupun Karina tau persis kalau anak mereka selalu menahan sakit dan tangis saat obat-obatan dimasukkan ke dalam tubuhnya, saat tubuh ringki itu harus terus ditusuk oleh jarum setiap hari. Namun Jina tidak pernah sekalipun menangis, tidak pernah dalam seminggu ia dirawat.

Gadis itu masih ceria seperti dulu, dengan wajah pucat pasihnya ia masih bisa tersenyum, ia masih cerewet, masih suka menggoda ibunya, mengganggu kakaknya bahkan bercanda dengan ayahnya.

"Eomma"

Karina tersadar dari lamunannya saat mendengar suara sang anak.

"Iya sayang, Jina sudah bangun?"

Jina menatap ibunya bingung, ia lalu menarik tangan ibunya, dengan wajah polos ia berkata, "Jina tidak bisa dengar suara eomma"

Tidak mudah bagi Jina untuk mengeluarkan suara sementara ia sendiri tidak bisa mendengar suara nya sendiri. Ia mencoba berbicara semampunya, entah ibunya mendengarnya atau tidak, entah suara nya jelas atau tidak.

Sementara Karina...
Nafasnya tersendat, di pagi yang cerah ini ia ditampar oleh kenyataan pahit bahwa anaknya tidak bisa mendengar suaranya. Pandangannya mulai blur karena airmata yang mulai tergenang, namun ia dengan sigap berusaha sebaik mungkin menahan airmata nya.

Karina mengelus wajah Jina dengan kedua tangannya, "It's oke sayang, nanti kita terapi lagi. Jina pasti sembuh dan bisa dengar suara eomma lagi" ujar Karina, ia tetap berbicara walaupun Jina tidak bisa mendengarnya, ia memeluk anaknya sambil mengecup kepala Jina.

"Eomma, Jina mau cuci muka terus  sikat gigi" ujar anak itu

Karina mengangguk lalu mulai membantu sang anak untuk bangun. Sementara Jeno yang mendengar ucapan Jina sudah berjalan keluar, ia tidak bisa sekuat Karina yang bisa menahan airmatanya, ia tidak bisa, airmatanya menetes dengan sendirinya. Putri kesayangannya tengah sakit, ia tidak lagi bisa tersenyum, setiap hari Jeno terus meneteskan airmata diam-diam. Ia tidak ingin Jina melihatnya lemah sementara anak itu begitu kuat.

Setelah mencuci muka dan sikat gigi, Jina kembali ke bednya, ia mencoba tenang walaupun ia tidak bisa mendengar apapun. Ia mengambil canvasnya lalu mulai melukis, Jina hanya diam sambil mencoret-coret kanvas lukisnya mengabaikan ayah dan ibunya yang sedang berbicara dengan dokter, entah apa yang mereka bicarakan.

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang