Pagi yang begitu cerah, matahari begitu terik pagi ini entah kenapa, apa perasaan Jino atau...
Remaja laki-laki itu terbangun seketika kala ingatan tentang kenakalannya semalam memasuki kepalanya. Jino memegang kepalanya yang pening lalu menatap sekeliling, dan ia sangat asing dengan tempat ini.
"Sudah bangun?"
Suara bariton khas yang tidak asing memasuki kuping Jino, suara yang ia kenal dan benar saja pemilik suara itu sedang menatapnya dengan tatapan datar. Jino meneguk ludahnya, itu adalah Haechan samchon, teman ayahnya yang jenaka namun pagi ini sepertinya pamannya yang lucu itu tengah menahan kekesalan padanya, ia baru pertama kali melihat ekspresi serius teman ayahnya itu dan agaknya bulu kuduk Jino berdiri tegak saking takutnya. Karena walaupun jenaka Haechan samchon adalah tentara militer aktif bahkan merupakan anggota pasukan khusus.
"P-paman"
"Awalnya paman ingin mentolerir perbuatanmu ini tapi sepertinya tidak akan bisa karena ayahmu cepat atau lambat akan tetap mengetahuinya"
Jino menatap teman ayahnya itu dengan tatapan putus asa, ia baru saja mendapat keberanian kemarin untuk memberontak tapi sekarang ia kembali takut saat ayahnya disebut. Bukan takut akan dimarahi, dibentak ataupun dipukul oleh ayahnya, yang Jino takutkan adalah bagaimana kalau ayahnya kecewa dan tak lagi mempercayainya. Walaupun ia begitu dekat dengan ibunya, Jino tetaplah anak laki-laki pertama kebanggaan ayahnya, ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi seperti ayahnya bahkan lebih.
"Apa kau sadar apa yang kau lakukan kemarin itu fatal Lee Jino?"
Jino mengangguk, "Iya, maaf paman"
Haechan menghela napas, ia berjalan mendekati remaja itu, "Apa kau lupa adikmu tengah sakit? Kau lupa Jina sedang berjuang bersama ayah dan ibumu disana?"
Jino menunduk mendengar ucapan Haechan yang seakan-akan menamparnya hingga ia tak berani menampakkan wajahnya di depan laki-laki dewasa itu.
"Ayahmu sudah sangat terpuruk karena keadaan adikmu, apa yang akan terjadi pada ayahmu kalau tau anak laki-laki kebanggaannya malah menjadi seperti ini? Apa kau tau, ayahmu berjuang keras agar adikmu sembuh, dia bahkan rela menghabiskan waktunya di rumah sakit, bekerja sambil mengawasi adikmu. Dia tenang meninggalkanmu karena dia percaya kau bisa diandalkan Jino-ya. Lalu apa kau tidak memikirkan ibumu? Dia akan merasa gagal mendidikmu kalau tau kau melakukan hal seperti kemarin. Dia tidak akan menyalahkan mu tapi menyalahkan dirinya sendiri. Ibumu adalah orang yang paling menderita saat ini, satu anaknya tengah sakit dan dia harus meninggalkanmu sendiri tanpa pengawasan, walau terlihat tenang sebenarnya kedua orang tua mu tidaklah tenang meninggalkanmu sendiri di rumah, tapi mereka percaya padamu, karwna kau bisa menjaga dirimu sendiri"
Jino mengangkat kepalanya menatap teman ayahnya, "Paman, maaf dan terima kasih karena sudah menolongku semalam. Aku...aku hanya sedang bingung, aku ingin mengatakan banyak hal pada ayah dan ibuku tapi mereka tidak pernah bisa mendengarkanku"
Haechan menghela napas pelan, ia baru menyadari astaga anak ini masih kecil, dia butuh perhatian orang tuanya.
"Bersihkan dirimu, kita ke rumah sakit, ayah dan ibumu mencarimu sejak semalam karena kau tidak mengangkat telponmu, paman tidak akan mengatakan apapun pada ayahmu. Anggap saja kau menginap disini semalam"
"Tapi aku berkata pada eomma kalau aku menginap di rumah teman paman"
"Memangnya Jihae bukan temanmu?" ujar Haechan
Jino memanyunkan bibirnya, "Ya teman juga, tapi kan Jihae perempuan paman, dia juga setahun di bawahku, maka mungkin aku menginap di rumah teman perempuan"
"Bilang saja aku yang mengajakmu, sudah jangan banyak bicara, sana mandi lalu ganti baju dengan baju paman"
Jino mengangguk saja, ia juga tau kalau baju pamannya ini tidak kolot, ya penampilannya masih bisa diselamatkanlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins
FanfictionKelanjutan cerita kehidupan rumah tangga sebuah keluarga bahagia Jeno dan Karina yang memiliki anak kembar bernama Jino dan Jina. Dua anak kembar tidak identik dan berbeda gender itu hidup dengan berbagai perbedaan. Jino si sulung yang terlahir 15 m...