Sawamura Eijun, jadi Ace tim Seido di tahun keduanya. Namun ia hilang disaat Seido berhasil ke Koshien musim semi, ia begitu saja meninggal seido saat musim dingin, di bulan oktober. Dua tahun kemudian Seto Takuma dan Okumura Khooshuu memasuki tahu...
Eijun berdiri diam di depan pintu rumah khas jepang masa lalu, itu bukan kayu seluruhnya namun juga bukan rumah modern. Rumah itu ada dua lantai, Eijun mengingat detailnya. Ia ragu mengetuk pintu itu.
Sekarang Misa dititipkan di penitipan anak, Jun'ya di rumah dokter Ryo. Kenapa mereka dipisah karena istri Ryo juga punya anak dan tak mungkin menambah dua anak lagi, apalagi Misa adalah anak yang aktif akan repot jika wanita cantik itu menjaga tiga anak yang sakit dan aktif bersamaan, Jun'ya butuh penanganan khusus, ia tak bisa dititipkan di playgroup, Eijun biasanya membawa Jun'ya bekerja sementara Misa di playgroup atau jika kuliah maka suster rumah sakit yang menjaganya.
Dan hari ini ia akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan ia tak mungkin membawa salah satu dari Jun'ya dan Misa bersama dengannya. Lagipula Eijun hanya akan berkunjung beberapa jam saja, ia harus segera pulang agar Misa tak lama di playgroup.
Eijun berhasil menekan tombol bel pintu, ia sedikit menjauh. Memegang erat kantung kotak kue yang ia bawa, setidaknya sedikit hadiah untuk ibunya.
"Ya, sebentar." suara wanita yang menyahut dari dalam, bersama suara langkah yang makin dekat, suara kunci manual di geser, suara pintu bergeser. Semua membuat Eijun ingin lari lagi dan menghilang selamanya. Namun ini terlambat...
"Ada apa-" wanita berambut pendet yang hampir empat puluh enam tahun itu membulatkan matanya, ia terkejut saat melihat tamu yang berada di luar pintu. "Eichan? Eichan........ Eich-...."
Wanita itu bergegas memeluk Eijun dan menangis, ia tak menyangka putranya yang dua tahu ini tak ada kabar berita akhirnya kembali dan terlihat baik-baik saja.
Eijun yang dipeluk juga perlahan memeluk sang ibu yang membuatnya tenang. Seakan semua masalah terangkat, menjadi ringan dan lepas. Eijun juga menjaga menangis.
"Eri, siapa yang data-" ayahnya datang dari tangga, dan terkejut. Ia hanya diam melihat istri dan anaknya memeluk satu sama lain.
Sepuluh menit berlalu tanpa ada yang mau mengakhiri pelukan itu, sang ayah pun tak sabar menunggu ibu dan anak bernostalgia. "Apa sekarang kau tahu jalan pulang."
Sang ayah berkata dengan ketus, namun ada getaran di suaranya.
Eijun sedikit menyesal atas kata-kata ayahnya. Hanya saja ia tahu siapa yang paling membutuhkannya.
"Ibu, aku hanya sampai jam dua belas, Eichan harus pergi, maaf." Eijun berkata, ia harus menjemput Misa di playgroup. Karena itu bukan playgroup seharian maka hanya sampai jam dua belas siang, dan anak-anak harus dijemput setelah jam dua belas.
Wanita berambut hitam terdiam, sedikit kecewa. Namun pada akhirnya ia tersenyum. "Baiklah, ayo makan siang jam sebelah, ya?"
"Baik, ibu." Eijun tersenyum, memeluk sang ibu lagi. "Mana kakek, ibu?"
Ayah menghela napas. "Di kamar, sejak dua tahun lalu ia tak melakukan apapun... Cobalah temui dia dulu..."
Eijun mengangguk, ia tahu pasti kakeknya akan saat khawatir akan dirinya walau dia galak.
Keluarga yang baru reuni setelah sekian lama itu masuk ke dalam rumah. Eijun melihat tiap ruangan, barang dan lainnya. Mengingat semua ketika ia tumbuh sampai remaja. Ia rindu rumah ini.
"Ibu mau ke dapur, menyiapkan makan siang. Kau temui kakek di kamar." kata sang ibu sambil berjalan ke dapur.
Eijun mengangguk dan mereka berpisah.
Di dapur Eribersenandung riang, putra semata wayang yang hilang akhirnya kembali walau sebentar tapi paling tidak ia yakin putranya baik-baik saja. Wanita cantik itu mengeluarkan bahan kanan terbaik yang ia punya, berencana memaksa makanan kesukaan Eijun.
"Ibu, biar kubantu..." Eijun berjalan dari pintu dapur menuju ibunya yang mencuci sayuran. Sambil membawa kantong yang Eijun bawa dari rumah sakit.
"Ah, kau bicara saja dengan ayah dan kakek mu. Eichan." Erimenggeleng.
"Tidak, kakek sedang tidur. Ayah sedang nonton konser musik metal. Aku tidak mengerti itu, aku bantu. Aku juga membawa kue dari ru-tempat tinggalku..." Eijun menaruh kantung di atas meja makan.
"Ah. Baiklah, kamu bisa memotong sayur..."
"Ibu, biarkan aku memasak. Eichan akan memasak makanan enak untuk kalian." Eijun dengan percaya diri dan mengambil pisau dari laci meja, dan mulai memotong sayuran.
Erimenatap putranya dengan heran,yang ia tahu Eijun tak pernah memasak. Bahkan memasak mie pun hanya menambahkan air panas kedalamnya. SEingat Eriputranya tak tertarik dengan kegiatan yang biasa dilakukan wanita itu.
Namun Eijun dengan serius memasak makanan, sementara ibunya menyiapkan pendamping. Mereka berbincang berbagai hal kecuali tentang Eijun sendiri, Erimenepati janjinya untuk tidak menyinggung apapun yang terjadi pada Eijun selama dua tahun ini. Eriingin tahu, sangat. Namun ia tak ingin Eijun hilang dari hadapannya, tanpa kabar berita seperti dua tahun ini.
Eriberharap suatu hari Eijun mau berbicara tentang kenapa ia menghilang, hanya saja untuk sekarang cukup ia tahu putranya baik-baik saja. Ya, cukup itu saja.
Satu jam mereka memasak, Eijun ternyata membuat katsudon sederhana yang sering ia buat untuk Misa.
"Wah... Terlihat enak, sejak kapan putra ibu bisa membuat makanan enak?" Eriberucap dengan pujian di dalam kata-katanya.
"Lebih murah membuat daripada beli, iya kan?" Jawab Eijun, ia membawa tiga piring katsudon hangat ke ruang tengah di mana meja pendek berada. Ayahnya sedang menonton konser dari dvd, kakeknya baru saja masuk, tertegun melihat Eijun.
"Kakek... Apa kabar." Eijun tersenyum, menaruh piring-piring itu, bersama ibunya yang membawa satu piring katsudon dan dua piring sayuran dan acar.
Sang kakek berubah dari terkejut menjadi marah. "Kau!!"
"Ayah... Kita makan sekarang. Eijun akan pergi siang ini, jangan marah sekarang." Eriberbicara dengan tenang. Ia menatap mertuanya, memohon untuk tidak menyinggung masalah Eijun.
Pada akhirnya pria tua renta itu hanya diam dan duduk di meja yang sekarang sudah penuh makanan.
Empat orang mengelilingi meja, walau ini bukan waktu makan siang tapi tak masalah. Toh, selama keluarga makan bersama itulah yang diinginkan manusia bukan kenyang atau tepat waktu.
Mereka memulai makan bersama. Namun dering telepon dari smartphone Eijun mengganggu acara makan.
Eijun mengerut, ia mengambil smartphone di sakunya.
Itu dari penitipan anak tempat Misa berada sekarang, mau tak mau Eijun kuatir. "Halo..." Eijun duduk sendiri di sisi kiri meja, ayah dan ibu di hadapannya dan kakeknya di sisi kanan ujung, jadi mereka tak mendengar lawan bicara Eijun. "Ada apa.? .... Hah... Apa maksudmu? ... Memotretnya gimana? ... Paparazi? ..." semua kebingungan dengan kata-kata Eijun.
Eijun berdiri dengan tergesa-gesa, dengan wajah penuh kemarahan. "... Misa tak terluka, kan? ... Baik, saya akan ke sana... "
Semua berdiri kebingungan. Eijun menutup panggilan itu. "Ibu, aku pergi sekarang. Maaf."
..............
yah, halo ai kembali, yaaaaaaaah ai susah menulis chep ini. ai ingin kesan perubahan eijun terlihat oleh ibunya, yang lebih feminin karena dia sudah jadi ibu. tapi sulit karena ai sendiri lebih suka maskulin untuk toko utama.
ya, seperti biasa aku senang baca comment tapi kalau cuma next/selanjutnya/ditunggu lanjutannya/kapan nextnya itu menyebalkan, kalau mau comment gitu traktir dulu ai, scan ini..
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.