Part 8

6.3K 772 82
                                    

Tyaga mempercepat waktu kunjungannya ke Surabaya. Sisa pekerjaan akan dilanjutkan oleh wakilnya yang sore nanti akan datang untuk menggantikannya.

Dia tak bisa bekerja dalam keadaan canggung, apalagi menghindar Zinia adalah hal yang tak mungkin. Seharian ini saja mereka terus bertemu dan terpaksa duduk di satu mobil yang sama ketika berada di perjalanan.

Pada kondisi biasanya Tyaga akan merasa sangat nyaman. Siapapun yang dekat dengan Zinia akan terhibur dengan celotehan wanita itu. Namun ini adalah situasi berbeda di mana Zinia hanya diam dan Tyaga tak biasa memulai obrolan. Terlebih setelah yang terjadi kemarin malam.

"Non Zinia sudah sembuh?" Sopir yang disediakan perusahaan selama Tyaga dan Zinia berada di Surabaya bertanya pada Zinia yang tak duduk di samping Tyaga melainkan di samping supir yang tadinya merasa heran, tapi tak ada yang pria paruh baya itu tanyakan. Hanya menanyai kondisi Zinia yang menjadi pendiam.

Mungkin karena hal itu Zinia dikira sakit.

Sedangkan Zinia yang terus melamun, menatap jalanan dari jendela dengan sorot mata kosong, sontak mengerjap dan menoleh ke samping. "Udah, pak," jawabnya lalu tersenyum.

Merasa salah tingkah, Zinia melirik ke belakang, tampak Tyaga yang seolah sibuk dengan ponsel pria itu. Namun kemudian wanita berambut pendek dengan tahi lalat di hidung itu berpaling, menatap murung pada tasnya.

Bukankah saling diam setelah biasanya mereka berbincang akan terlihat aneh?

Bagaimana jika si sopir berpikir yang tidak-tidak?

"Berarti obat yang dikasih apotik langganan saya ampuh kan, non?"

Zinia mengangguk.

Kemarin ia meminta antar ke apotek untuk membeli obat.

"Jangan begadang lagi, non. Nanti pusing lagi."

Zinia mengangguk sambil mengulas senyum tipis.

Tapi kemarin bukan obat sakit kepala yang ia beli.

"Iya, pak." Lalu diam dan kembali membiarkan sunyi mendominasi.

Bahkan tak ada suara musik untuk mencairkan suasana tegang ini. Barangkali pak sopir bertanya agar suasana canggung ini dapat dilenyapkan?

"Bapak nanti ke Bandara jam berapa?" Lagi, sopir bertanya pada Tyaga yang berdeham lebih dahulu sebelum menjawab.

Perihal kepulangannya tak ia sampaikan pada Zinia yang praktis menoleh ke belakang, menatap Tyaga ingin bertanya namun mulutnya hanya mampu terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Jam delapan, pak." Lalu dengan raut datar, Tyaga tatap Zinia yang terlihat kebingungan. "Nanti pak Herry datang untuk menggantikan saya. Jadi kamu bantu pak Herry di sini, ya?"

Oh ... Mendesah lambat. Kepala Zinia mengangguk kaku. Engsel pada leher seolah berkarat.

Kembali menunduk, Zinia meremas jemari yang saling berkaitan di atas tas. Gerakan yang tertangkap sorot tajam Tyaga yang merasa dadanya begitu sesak.

Ia merasa begitu kejam terhadap Zinia. Namun atas kasus yang terjadi semalam, ia belum menemukan jalan keluar. Entahlah harus melakukan apa untuk menebus kesalahannya pada Zinia hingga akhirnya ia hanya bisa mengabaikan wanita itu seolah tak ada yang terjadi kemarin malam.

Tiba di hotel, bersamaan turun namun tetap tak ada perbincangan apapun yang biasanya mengalir seperti air. Zinia mengambil langkah lebih dahulu, namun  sadar mereka akan menggunakan lift yang sama, Zinia mulai melambat. Untuk apa lari jika akhirnya mereka akan berada di satu kotak yang sama?

Berdiri bersampingan menanti pintu lift terbuka, merasa waktu yang berjalan begitu lambat, berbanding terbalik dengan detak jantung Zinia pun pria di sebelahnya. Napas lega terembus pelan kala pintu akhirnya terbuka.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang